Senin, 09 April 2012

MAKALAH DINASTI BUWAIHI


BAB I
PENDAHULUAN

Pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah, umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaannya. Menurut asal usul penguasanya selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk. Posisi Daulah Abbasiyah ketika di bawah kekuasaan Bani Buwaihi, keadaan Kekhalifahanya lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syiah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Selama abad kekuasaan mereka (masa-masa kejayaan mereka) yaitu tahun 945-1055, Dinasti buwaihi menaikkan dan menurunkan kholifah sekehendak hatinya. Irak sebagai sebuah provinsi di perintah dari ibukota Buwaihi, syiraz di Faris. [1]
Kekuasaan Buwaihi mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan ‘Adud Al Dawlah (949-983), putra Rukn Al Dawlah. ‘Adud Al Dawlah bukan hanya seorang penguasa Buwaihi yang paling unggul., tetapi ia juga yang paling masyhur pada zamanya. Di bawah kendalinya, pada 977 dia berhasil mempersatukan beberapa kerajaan kecil yang sudah muncul sejak periode kekuasaan Buwaihi di Persia dan Irak, sehingga membentuk satu Negara yang besarnya hampir menyerupai Imperium.
Teladan yang di perlihatkan ‘Adud Al Dawlah dalam dukunganya terhadap pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan sastra antara lain memperindah Baghdad, memperbaiki kanal-kanal yangs sudah usang, dan di beberapa kota-kota lain, mendirikan sejumlah masjid, rumah sakit dan gedung-gedung publik, sebagaimana di catat sejarawan (Ibnu maskawaih) yang menjadi bendahara ‘Adud Al Dawlah. Teladan yang di perlihatkan ‘Adud Al Dawlah ini juga di ikuti oleh putranya yang bernama Syaraf al Dawlah (983-989). Untuk meniru Al Makmun, maka Syaraf al Dawlah, setahun sebelum kematiaanya membangun sebuah observatorium terkenal. [2]
Inilah kekuasaan Dinasti Buwaihi atas Dinasti Abbasiyah yang berlangsung dari tahun 945-1055.


























BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGUASAAN BANI BUWAIHI TERHADAP DAULAH ABBASIYAH
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ''The Golden Age''. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Pada awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu Abbas As-Safah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Kemudian Khalifah penggantinya Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad. Di kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar yang akan menguasai dunia lebih dari lima abad lamanya. Imperium ini dikenal dengan nama Daulah Abbasiyah.[3]
Menurut asal usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk, seperti tersebut di bawah ini. Kenyataan itu menunjukkan bahwa masa pemerintahan itu diwarnai oleh intrik istana maupun perebutan kekuasaan secara internal.
  1. Bani Abbas (750-932 M)
Khalifah Abu Abbas As-Safah (750-754 M)
Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M)
Khalifah Al-Mahdi (775-785 M)
Khalifah Al-Hadi (785-786 M)
Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)
Khalifah Al-Amin (809-813 M)
Khalifah Al-Makmun (813-833 M)
Khalifah Al-Muktasim (833-842 M)
Khalifah Al-Wasiq (842-847 M)
Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M)
Khalifah Al-Muntasir (861-862 M)
Khalifah Al-Mustain (862-866 M)
Khalifah Al-Muktazz (866-869 M)
Khalifah Al-Muhtadi (869-870 M)
Khalifah Al-Muktamid (870-892 M)
Khalifah Al-Muktadid (892-902 M)
Khalifah Al-Muktafi (902-908 M)
Khalifah Al-Muktadir (908-932 M)
  1. Bani Buwaihi (932-1075 M)
Khalifah Al-Kahir (932-934 M)
Khalifah Ar-Radi (934-940 M)
Khalifah Al-Mustaqi (940-944 M)
Khalifah Al-Muktakfi (944-946 M)
Khalifah Al-Mufi (946-974 M)
Khalifah At-Tai (974-991 M)
Khalifah Al-Kadir (991-1031 M)
Khalifah Al-Kasim (1031-1075 M)
  1. Bani Saljuk (1075-1258 M)
Khalifah Al-Muqtadi (1075-1084 M)
Khalifah Al-Mustazhir (1074-1118 M)
Khalifah Al-Mustasid (1118-1135 M)
Khalifah Ar-Rasyid (1135-1136 M)
Khalifah Al-Mustafi (1136-1160 M)
Khalifah Al-Mustanjid (1160-1170 M)
Khalifah Al-Mustadi (1170-1180 M)
Khalifah An-Nasir (1180-1224 M)
Khalifah Az-Zahir (1224-1226 M)
Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M)
Khalifah Al-Muktasim (1242-1258 M)[4]
Dari ke tiga jenis kekuasaan yang mewarnai daulah Abbasiyah tersebut, daulah ini  dapatlah dikelompokkan menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Secara singkat periodesasi tersebut adalah:
1.                  Periode pertama (750-847 M)
            Diawali dengan tangan besi. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pendiri dari Daulah Abbasiyah ini adalah Abu Abbas As-Safah. Di awal pemerintahannya untuk mengukuhkan eksistensi kekhalifahan Daulah Abbasiyah, maka Abu Abbas menerapkan kebijakan-kebijakan yang cukup tegas, kebijakan itu adalah memusnahkan anggota keluarga daulah Bani Umayah, serta menggunakan suatu agen rahasia yang berfungsi untuk mengawasi gerak dan gerik keturunan Bani Umayah, bila perlu membunuhnya.[5]
            Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas As-Safah dan Abu Jakfar Al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti itu berada pada tujuh Khalifah sesudahnya. Sejak masa Khalifah Al-Mahdi (775-785) hingga Khalifah Al-Wasiq (842-847 M).[6] Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Makmun (813-833 M). Kedua penguasa ini lebih menekankan pada pengembangan peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang perluasan wilayah seperti pada masa Daulah Umayah.
2.         Periode kedua (847-945 M)
            Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masanya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat setelah Al- Mutawakkil wafat. Mereka telah memilih dan mengangkat Khalifah sesuai kehendak mereka. Dengan demikian Bani Abbasiyah tidak lagi mempunyai kekuatan dan kekuasaan, meskipun resminya mereka adalah penguasa. Usaha untuk melepaskan dari dominasi Turki selalu mengalami kegagalan.
3.                  Periode Ketiga (945-1055 M)
Posisi Daulah Abbasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan ciri utama dari periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syiah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi menjadi pusat pemerintahan Islam, karena telah dipindah ke Syiraz di mana berkuasa Ali bin Buwaihi yang memiliki kekuasaan Bani Buwaihi. Dalam bidang ilmu pengetahuan, Daulah Abbasiyah masih terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti Al-Farabi (870- 950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al-Biruni (973-1048 M), Ibnu Misykawaih (930-1030 M) dan kelompok studi Ikhwan As-Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan itu juga diikuti dengan pembangunan kanal, mesjid dan rumah sakit. Patut dicatat pula bahwa selama masa Bani Buwaihi berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali bentrokan sosial aliran ahlu sunnah dan syiah, dan pemberontakan tentara.
4.                  Periode Keempat (1055-1199 M)
            Periode keempat ini ditandai dengan berkuasanya Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Saljuk ini adalah atas ''undangan'' Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di baghdad. Keadaan Khalifah sudah mulai membaik, paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syiah.
5.                  Periode Kelima (1199-1258 M)
Telah terjadi perubahan besar-besaran dalam kekhalifahan Daulah Abbasiyah dalam periode kelima ini. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa tetapi hanya di baghdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan Khalifah menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Baghdad tanpa perlawanan pada tahun 1258 M.[7]

B.     PEMBENTUKAN DINASTI BUWAIHI
Sebuah fase kegelapan bagi sejarah kekholifahan yaitu ketika Kholifah mustakfi (944-946) di Bagdad menerima Ahmad ibnu Buwaih yang termasyhur dan mengangkatnya sebagai amir al umara’ dengan gelar kehormatan Mu’izz al Dawlah (orang yang memberi kemuliaan pada negara). Ayah Ahmad, Abu Syuja’ Buwaih, mengaku sebagai keturunan raja-raja Sasaniyah kuno, mungkin seperti dalam kebanyakan kasus, ingin mengangkat prestise dinasti ini. Dia adalah seorang pemimpin sebuah gerombolan yang suka berperang, yang sebagian besar terdiri atas orang-orang dataran tinggi Dailami dari pegunungan di pesisir utara laut Kaspia, dan mereka juga pernah membantu Dinasti Samaniyah. Tiga putera Abu Syuja’, termasuk Ahmad sedikit demi sedikit menguasai jalan menuju selatan, menduduki isfahan, lantas syiraz dengan provinsinya (934), dan dua tahun kemudian mereka menguasai provinsi-provinsi di Ahwaz (sekarang di sebut Kuzistan) dan Karman. Syiraz kemudian di pilih menjadi Ibu Kota bagi dinasti baru ini. Ketika Ahmad bergerak ke Baghdad (945), para pengawal Kholifah yakni orang Turki melarikan diri, begitu pula tanah kekuasaan sang Kholifah akhirnya di bawah pengawasan para tuan barunya, yakni seorang Persia Syiah (Buwaihi). Kendati jabatan utamanya hanyalah sebagai amir al umara’, Mu’izz al Dawlah menuntut agar namanya di sebutkan bersama nama sang Kholifah dalam Khutbah Jum’at. Dia bahkan mencantumkan namanya dalam kepingan mata uang.
Pada bulan januari 946, Al Mustakfi yang malang itu menjadi buta dan di gulingkan oleh Mu’izz al Dawlah yang kemudian memilih al Mutsi’ (946-974) sebagai kholifah baru. Festifal-festifal syi’ah kini di selenggarakan, terutama perayaan berkabung pada hari memperingati kematian Al Husayn pada tanggal 10 Muharam, dan perayaan bergembira memperingati pengangkatan Ali sebagai penerus Rasulullah SAW di Ghodir Al Khumm. Institusi kekholifahan kini melewati periode yang paling menyedihkan ketika pemimpin kaum beriman sekedar menjadi boneka di tangan amir al umara’ yang suka memecah belah.
Buwaihi bukanlah yang pertama memangku gelar sultan seperti yang banyak di klaim oleh para sejarawan. Jika di amati dari keping mata uangnya,mereka cukup puas dengan gelar amir atau malik yang dibubuhkan pada julukan kehormatan seperti Mu’izz al Dawlah, Imad Al Dawlah (tiang Negara), dan Rukn Al Dawlah (pilar Negara) dan semua itu adalah gelar-gelar yang secara serentak di berikan oleh kholifah kepada ketiga putera buwaih yaitu Ali bin Buya mendapat gelar Imad Ad-Daulah (Tiang Negara); Hasan bin Buya mendapat gelar Rukn Ad-Daulah (Penopang Negara); dan Ahmad bin Buya mendapat gelar Mu'iz Ad-Daulah (Penegak Negara). Setelah periode mereka, sebutan-sebutan angkuh seperti itu menjadi kebiasaan. Gelar kehormatan amir al umara’ juga di sandang oleh beberapa penerus Mu’izz Buwaihi, kendati sebutan itu sudah tidak bermakna apapun, tak lebih dari sebuah kehormatan imajiner.[8]

C.    KEKUASAAN DINASTI BUWAIHI
Menurut Syafiq Mughni, wilayah kekuasaan Dinasti Buwaihi memang lebih menyerupai sebuah federasi ketimbang kerajaan. Kekuasaan Dinasti Buwaihi memang lain dengan kekuasaan orang-orang keturunan Saman Khuda (Dinasti Saman). Unit-unit kekuasaannya lebih dipusatkan di kota-kota besar. Seperti kekuasaan di Persia dipusatkan di kota Syiraz dan Isfahan. Kekuasaan di Ray dipusatkan di kota Al-Jibal. Dan, kekuasaan di Irak dipusatkan di kota Baghdad, Bashrah, dan Mosul. Sistem pemerintahan Dinasti Buwaihi tidak independen seperti Dinasti Saman. Ali bin Buya masih mengakui otoritas Baghdad sebagai pusat kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, sekalipun pada waktu itu sudah amat lemah. Ali bin Buya terus berusaha mendapat simpati dan dukungan politik dari Khalifah Al-Mustakfi (berkuasa 944-946 M). Jabatan para penguasa Dinasti Buwaihi tidak lain sebatas gubernur, bukan khalifah. Ini jelas berbeda dengan status jabatan penguasa beberapa dinasti sebelumnya di Persia. Albert Hourani (2004) menjelaskan bahwa, para penguasa Dinasti Buwaihi banyak menyandang gelar dinasti Persia Kuno. Seperti gelar "Syahansyah" (Raja diraja).
Selama abad kekuasaan mereka (masa-masa kejayaan mereka) yaitu tahun 945-1055, Dinasti buwaihi menaikkan dan menurunkan kholifah sekehendak hatinya. Irak sebagai sebuah provinsi di perintah dari ibukota Buwaihi, syiraz di Faris. Di Baghdad mereka melestarikan sejumlah istana megah dan menyebutnya dengan nama Dar Al Mamlakah (kampung Kerajaan). Baghdad bukan lagi pusat dunia muslim, karena keunggulan internasionalnya kini di tandingi bukan hanya oleh Syiraz, tetapi juga oleh Ghaznah, Kairo dan Kordova.
Kekuasaan Buwaihi mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan ‘Adud Al Dawlah (949-983), putra Rukn Al Dawlah. ‘Adud Al Dawlah bukan hanya seorang penguasa Buwaihi yang paling unggul., tetapi ia juga yang paling masyhur pada zamanya. Di bawah kendalinya, pada 977 dia berhasil mempersatukan beberapa kerajaan kecil yang sudah muncul sejak periode kekuasaan Buwaihi di Persia dan Irak, sehingga membentuk satu Negara yang besarnya hampir menyerupai Imperium. ‘Adud Al Dawlah menikahi Puteri Kholifah Al Tha’i dan menikahkan puterinya sendiri dengan sang Kholifah (980), karena dengan cara ini dia berharap memiliki keturunan yang akan meneruskan kekuasaanya. ‘Adud Al Dawlah adalah penguasa pertama dalam islam yang menyandang gelar Syahansyah (Seperti gelar "Syahansyah" (Rajadiraja).[9] Penelitian arkeologis telah menemukan sebuah medali bertahun 969 M bahwa, para penguasa Dinasti Buwaihi menggunakan gelar "Syahansyah" (Rajadiraja). Dengan demikian, Dinasti Buwaihi termasuk generasi penerus peradaban Persia Kuno, seperti halnya Dinasti Saman, yang bermaksud mengembalikan kejayaan orang-orang Arya).

D.    KEMAJUAN DI ZAMAN DINASTI BUWAIHI
Meski ‘Adud Al Dawlah tetap mempertahankan istananya di Syiraz, tetapi dia juga memperindah Baghdad, memperbaiki kanal-kanal yangs udah usang, dan di beberapa kota-kota lain mendirikan sejumlah masjid, rumah sakit dan gedung-gedung publik, sebagaimana di catat sejarawan (Ibnu maskawaih) yang menjadi bendahara ‘Adud Al Dawlah. Untuk lembaga-lembaga penyantun, ‘Adud Al Dawlah menyediakan dana dari pembendaharaan Negara. Salah satu bangunan menarik yang di buatnya adalah rumah suci (masyhad) di atas makam yang di anggap sebagai makam Ali. Bangunan yang terpenting yang di bangun ‘Adud Al Dawlah adalah rumah sakit Al Bimaristan Al Adudi yang di rampungkan pembangunannya pada 978-979 dengan biaya sebesar 100.000 dinar. Rumah sakit itu memiliki 24 orang dokter yang juga bertugas sebagai pengajar ilmu Kedokteran. Penyair seperti Al Mutanabbi’, menyanyikan keagungan ‘Adud Al Dawlah, dan para penulis lain serta para ahli tata bahasa seperti Abu Ali Al Farisi menulis kitab Al Iddah (Kitab Penjelasan) mempersembahkan karyannya untuk ‘Adud Al Dawlah.
Dalam rangka menciptakan perdamaian, ‘Adud Al Dawlah bekerja sama dengan seorang wazir Kristen yang cukup terampil yang bernama Nash ibn Harun, yang atas otoritas dari Kholifah mendirikan dan memperbaiki sejumlah gereja dan biara.
Teladan yang di perlihatkan ‘Adud Al Dawlah dalam dukunganya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan sastra di ikuti oleh putranya yang bernama Syaraf al Dawlah (983-989). Untuk meniru Al Makmun, maka Syaraf al Dawlah, setahun sebelum kematiaanya membangun sebuah observatorium terkenal. Putra ‘Adud Al Dawlah yang lain, yakni penerusnya yang kedua yang bernama Baha’ Al Dawlah (989-1012), pada tahun 991 menjatuhkan Kholifah al Tha’i karena merasa iri melihat kekuasaan kekholifahan itu. Dia juga memiliki wazir yang cerdas dan terkenal yang berkebangsaan Persia, yakni bernama Sabur ibn Ardasyir. Tahun 993 Sabur ibn Ardasyir mendirikan sebuah Akademi di Baghdad, lengkap dengan perpustakaan yang menyimpan 10.000 buku, yang pernah di gunakan oleh penyair Suriah yang bernama Al Ma’arri untuk belajar ketika masih belajar di kota itu.[10]

E.     KEHANCURAN DINASTI BUWAIHI
Peperangan antara Baha’, Syaraf dan saudara ketiga mereka, Shamsham Al Dawlah, juga pertikaian antar anggota-anggota kerajaan untuk menentukan penerus mereka serta fakta bahwa Buwaihi berkecenderungan Syi’ah sehingga sangat di benci oleh orang-orang Baghdad yang Sunni, menjadi sebab-sebab penting bagi keruntuhan dinasti Buwaihi. Pada tahun 1055, Raja Saljuk yang bernama Thughril Beg memasuki Baghdad dan megakhiri riwayat kekuasaan Buwaihi. Raja yang terakhir dari dinasti ini di Irak yang bernama Al Malik Al RAhim (1048-1055), mengakhiri hidupnya dalam kurungan.[11]






BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian dalam pembahasan tentang Dinasti Buwaihi di atas dapat di simpulkan bahwa, menurut asal usul penguasanya selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk.
Ketika berada di bawah kekuasaan Dinasti Buwaihi kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad.
Banyak kemajuan-kemajaun yang terjadi di zaman Dianasti Buwaihi, terutama ketika kepemimpinan ‘Adud Al Dawlah. Dalam dukunganya terhadap pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan sastra beliau melakukan pengembangan antara lain memperindah Baghdad, memperbaiki kanal-kanal yangs udah usang, dan di beberapa kota-kota lain, mendirikan sejumlah masjid, rumah sakit dan gedung-gedung publik, observatorium terkenal dan lain-lain.
Dalam perjalanan berikutnya, karena adanya peperangan antara pembesar-pembesar dinasti Buwaihi antara lain Baha’, Syaraf dan saudara ketiga mereka, Shamsham Al Dawlah, dan juga pertikaian antar anggota-anggota kerajaan untuk menentukan penerus mereka, serta fakta bahwa Buwaihi berkecenderungan Syi’ah sehingga sangat di benci oleh orang-orang Baghdad yang Sunni, menjadi sebab-sebab penting bagi keruntuhan dinasti Buwaihi. Selain itu dengan berkuasanya Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah menggeser kekuasaan Dinasti Buwaihi. Kehadiran Bani Saljuk ini adalah atas ''undangan'' Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di baghdad. Dan inilah akhir dari kekuasaan Dinasti Buwaihi.





DAFTAR PUSTAKA

A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995
E. Abdul, Aziz Tibrizi, Diktat II Sejarah Kebudayaan Islam, Tangerang, :Pon-pest DaaEl- Qolam
Misbah, Ma'ruf. dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, Semarang: CV. Wicaksana
Philip K. Hitti, Dinasti-Dinasti di Timur, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997
Su'ud, Abu. Islamologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003


[1] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995, h. 210.
[2] Philip K. Hitti, Dinasti-Dinasti di Timur, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997, h. 600
[3] A. Hasjmy, op.cit., h. 210.
[4] Su'ud, Abu. Islamologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003, h. 72
[5] E. Abdul Aziz Tibrizi, Diktat II Sejarah Kebudayaan Islam, Tangerang, :Pon-pest DaaEl- Qolam, h. 46
[6] Su'ud, Abu. op.cit., h. 75
[7]  Misbah, Ma'ruf. dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, Semarang: CV. Wicaksana, h. 61
[8] Philip K. Hitti, op. cit., h. 599
[9] Ibid, 598
[10] Ibid, 601
[11] Ibid, 601

Tidak ada komentar:

Posting Komentar