BAB I
PENDAHULUAN
Pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah, umat Islam telah
mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaannya.
Menurut asal usul penguasanya selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami
tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk.
Posisi Daulah Abbasiyah ketika di bawah kekuasaan Bani Buwaihi, keadaan Kekhalifahanya
lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi
menganut aliran Syiah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai
yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi
kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan
negeri Persia , Hasan
menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan
Baghdad . Selama
abad kekuasaan mereka (masa-masa kejayaan mereka) yaitu tahun 945-1055, Dinasti
buwaihi menaikkan dan menurunkan kholifah sekehendak hatinya. Irak sebagai
sebuah provinsi di perintah dari ibukota Buwaihi, syiraz di Faris. [1]
Kekuasaan Buwaihi mencapai puncaknya di bawah
kepemimpinan ‘Adud Al Dawlah (949-983), putra Rukn Al Dawlah. ‘Adud Al Dawlah
bukan hanya seorang penguasa Buwaihi yang paling unggul., tetapi ia juga yang
paling masyhur pada zamanya. Di bawah kendalinya, pada 977 dia berhasil
mempersatukan beberapa kerajaan kecil yang sudah muncul sejak periode kekuasaan
Buwaihi di Persia dan Irak, sehingga membentuk satu Negara yang besarnya hampir
menyerupai Imperium.
Teladan yang di perlihatkan ‘Adud Al Dawlah dalam
dukunganya terhadap pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan sastra antara
lain memperindah Baghdad ,
memperbaiki kanal-kanal yangs sudah usang, dan di beberapa kota-kota lain,
mendirikan sejumlah masjid, rumah sakit dan gedung-gedung publik, sebagaimana
di catat sejarawan (Ibnu maskawaih) yang menjadi bendahara ‘Adud Al Dawlah. Teladan
yang di perlihatkan ‘Adud Al Dawlah ini juga di ikuti oleh putranya yang
bernama Syaraf al Dawlah (983-989). Untuk meniru Al Makmun, maka Syaraf al
Dawlah, setahun sebelum kematiaanya membangun sebuah observatorium terkenal. [2]
Inilah kekuasaan Dinasti Buwaihi atas Dinasti Abbasiyah
yang berlangsung dari tahun 945-1055.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGUASAAN BANI BUWAIHI
TERHADAP DAULAH ABBASIYAH
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau
sering disebut dengan istilah ''The Golden Age''. Pada masa itu Umat Islam
telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan
kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan,
ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke
bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan
besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka
dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh
Daulah Bani Umayah yang besar. Pada awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah
menggunakan Kufah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu Abbas As-Safah
(750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Kemudian Khalifah penggantinya Abu Jakfar
Al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad . Di kota
Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar
yang akan menguasai dunia lebih dari lima
abad lamanya. Imperium ini dikenal dengan nama Daulah Abbasiyah.[3]
Menurut asal usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah
Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani
Buwaihi, dan Bani Saljuk, seperti tersebut di bawah ini. Kenyataan itu
menunjukkan bahwa masa pemerintahan itu diwarnai oleh intrik istana maupun
perebutan kekuasaan secara internal.
- Bani Abbas (750-932 M)
Khalifah Abu Abbas As-Safah (750-754 M)
Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M)
Khalifah Al-Mahdi (775-785 M)
Khalifah Al-Hadi (785-786 M)
Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)
Khalifah Al-Amin (809-813 M)
Khalifah Al-Makmun (813-833 M)
Khalifah Al-Muktasim (833-842 M)
Khalifah Al-Wasiq (842-847 M)
Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M)
Khalifah Al-Muntasir (861-862 M)
Khalifah Al-Mustain (862-866 M)
Khalifah Al-Muktazz (866-869 M)
Khalifah Al-Muhtadi (869-870 M)
Khalifah Al-Muktamid (870-892 M)
Khalifah Al-Muktadid (892-902 M)
Khalifah Al-Muktafi (902-908 M)
Khalifah Al-Muktadir (908-932 M)
- Bani Buwaihi (932-1075 M)
Khalifah Al-Kahir (932-934 M)
Khalifah Ar-Radi (934-940 M)
Khalifah Al-Mustaqi (940-944 M)
Khalifah Al-Muktakfi (944-946 M)
Khalifah Al-Mufi (946-974 M)
Khalifah At-Tai (974-991 M)
Khalifah Al-Kadir (991-1031 M)
Khalifah Al-Kasim (1031-1075 M)
- Bani Saljuk (1075-1258 M)
Khalifah Al-Muqtadi (1075-1084 M)
Khalifah Al-Mustazhir (1074-1118 M)
Khalifah Al-Mustasid (1118-1135 M)
Khalifah Ar-Rasyid (1135-1136 M)
Khalifah Al-Mustafi (1136-1160 M)
Khalifah Al-Mustanjid (1160-1170 M)
Khalifah Al-Mustadi (1170-1180 M)
Khalifah An-Nasir (1180-1224 M)
Khalifah Az-Zahir (1224-1226 M)
Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M)
Khalifah Al-Muktasim (1242-1258 M)[4]
Dari ke tiga jenis kekuasaan yang mewarnai daulah Abbasiyah
tersebut, daulah ini dapatlah
dikelompokkan menjadi lima
periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Secara singkat periodesasi
tersebut adalah:
1.
Periode pertama (750-847 M)
Diawali dengan
tangan besi. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pendiri dari Daulah Abbasiyah
ini adalah Abu Abbas As-Safah. Di awal pemerintahannya untuk mengukuhkan
eksistensi kekhalifahan Daulah Abbasiyah, maka Abu Abbas menerapkan
kebijakan-kebijakan yang cukup tegas, kebijakan itu adalah memusnahkan anggota
keluarga daulah Bani Umayah, serta menggunakan suatu agen rahasia yang
berfungsi untuk mengawasi gerak dan gerik keturunan Bani Umayah, bila perlu
membunuhnya.[5]
Kalau dasar-dasar
pemerintahan Daulah Abbasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas
As-Safah dan Abu Jakfar Al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti itu berada pada
tujuh Khalifah sesudahnya. Sejak masa Khalifah Al-Mahdi (775-785) hingga
Khalifah Al-Wasiq (842-847 M).[6]
Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid
(786-809 M) dan putranya Al-Makmun (813-833 M). Kedua penguasa ini lebih
menekankan pada pengembangan peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang perluasan
wilayah seperti pada masa Daulah Umayah.
2. Periode kedua
(847-945 M)
Khalifah
Al-Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang
Khalifah yang lemah. Pada masanya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan
dengan cepat setelah Al- Mutawakkil wafat. Mereka telah memilih dan mengangkat
Khalifah sesuai kehendak mereka. Dengan demikian Bani Abbasiyah tidak lagi
mempunyai kekuatan dan kekuasaan, meskipun resminya mereka adalah penguasa.
Usaha untuk melepaskan dari dominasi Turki selalu mengalami kegagalan.
3.
Periode Ketiga (945-1055 M)
Posisi Daulah Abbasiyah yang berada di bawah kekuasaan
Bani Buwaihi merupakan ciri utama dari periode ketiga ini. Keadaan Khalifah
lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi
menganut aliran Syiah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai
yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi
kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan
negeri Persia , Hasan
menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan
Baghdad . Dengan
demikian Baghdad
pada periode ini tidak lagi menjadi pusat pemerintahan Islam, karena telah
dipindah ke Syiraz di mana berkuasa Ali bin Buwaihi yang memiliki kekuasaan
Bani Buwaihi. Dalam bidang ilmu pengetahuan, Daulah Abbasiyah masih terus
mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir
besar seperti Al-Farabi (870- 950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al-Biruni
(973-1048 M), Ibnu Misykawaih (930-1030 M) dan kelompok studi Ikhwan As-Safa.
Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan itu
juga diikuti dengan pembangunan kanal, mesjid dan rumah sakit. Patut dicatat
pula bahwa selama masa Bani Buwaihi berkuasa di Baghdad , telah terjadi beberapa kali
bentrokan sosial aliran ahlu sunnah dan syiah, dan pemberontakan tentara.
4.
Periode Keempat (1055-1199 M)
Periode keempat ini
ditandai dengan berkuasanya Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani
Saljuk ini adalah atas ''undangan'' Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani
Buwaihi di baghdad .
Keadaan Khalifah sudah mulai membaik, paling tidak kewibawaannya dalam bidang
agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syiah.
5.
Periode Kelima (1199-1258 M)
Telah terjadi perubahan besar-besaran dalam kekhalifahan
Daulah Abbasiyah dalam periode kelima ini. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah
tidak lagi berada di bawah dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa tetapi
hanya di baghdad
dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan Khalifah menunjukkan kelemahan
politiknya. Pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Baghdad tanpa perlawanan
pada tahun 1258 M.[7]
B. PEMBENTUKAN DINASTI
BUWAIHI
Sebuah fase kegelapan bagi sejarah kekholifahan yaitu
ketika Kholifah mustakfi (944-946) di Bagdad
menerima Ahmad ibnu Buwaih yang termasyhur dan mengangkatnya sebagai amir al
umara’ dengan gelar kehormatan Mu’izz al Dawlah (orang yang memberi kemuliaan
pada negara). Ayah Ahmad, Abu Syuja’ Buwaih, mengaku sebagai keturunan
raja-raja Sasaniyah kuno, mungkin seperti dalam kebanyakan kasus, ingin
mengangkat prestise dinasti ini. Dia adalah seorang pemimpin sebuah gerombolan
yang suka berperang, yang sebagian besar terdiri atas orang-orang dataran
tinggi Dailami dari pegunungan di pesisir utara laut Kaspia, dan mereka juga
pernah membantu Dinasti Samaniyah. Tiga putera Abu Syuja’, termasuk Ahmad
sedikit demi sedikit menguasai jalan menuju selatan, menduduki isfahan , lantas syiraz
dengan provinsinya (934), dan dua tahun kemudian mereka menguasai
provinsi-provinsi di Ahwaz (sekarang di sebut Kuzistan) dan Karman. Syiraz
kemudian di pilih menjadi Ibu Kota bagi dinasti baru ini. Ketika Ahmad bergerak
ke Baghdad
(945), para pengawal Kholifah yakni orang Turki melarikan diri, begitu pula
tanah kekuasaan sang Kholifah akhirnya di bawah pengawasan para tuan barunya,
yakni seorang Persia Syiah (Buwaihi). Kendati jabatan utamanya hanyalah sebagai
amir al umara’, Mu’izz al Dawlah menuntut agar namanya di sebutkan bersama nama
sang Kholifah dalam Khutbah Jum’at. Dia bahkan mencantumkan namanya dalam
kepingan mata uang.
Pada bulan januari 946, Al Mustakfi yang malang itu menjadi buta
dan di gulingkan oleh Mu’izz al Dawlah yang kemudian memilih al Mutsi’
(946-974) sebagai kholifah baru. Festifal-festifal syi’ah kini di
selenggarakan, terutama perayaan berkabung pada hari memperingati kematian Al
Husayn pada tanggal 10 Muharam, dan perayaan bergembira memperingati
pengangkatan Ali sebagai penerus Rasulullah SAW di Ghodir Al Khumm. Institusi
kekholifahan kini melewati periode yang paling menyedihkan ketika pemimpin kaum
beriman sekedar menjadi boneka di tangan amir al umara’ yang suka memecah
belah.
Buwaihi bukanlah yang pertama memangku gelar sultan
seperti yang banyak di klaim oleh para sejarawan. Jika di amati dari keping
mata uangnya,mereka cukup puas dengan gelar amir atau malik yang dibubuhkan
pada julukan kehormatan seperti Mu’izz al Dawlah, Imad Al Dawlah (tiang
Negara), dan Rukn Al Dawlah (pilar Negara) dan semua itu adalah gelar-gelar
yang secara serentak di berikan oleh kholifah kepada ketiga putera buwaih yaitu
Ali bin Buya mendapat gelar Imad Ad-Daulah (Tiang Negara); Hasan bin Buya
mendapat gelar Rukn Ad-Daulah (Penopang Negara); dan Ahmad bin Buya mendapat
gelar Mu'iz Ad-Daulah (Penegak Negara). Setelah periode mereka, sebutan-sebutan
angkuh seperti itu menjadi kebiasaan. Gelar kehormatan amir al umara’ juga di
sandang oleh beberapa penerus Mu’izz Buwaihi, kendati sebutan itu sudah tidak
bermakna apapun, tak lebih dari sebuah kehormatan imajiner.[8]
C. KEKUASAAN DINASTI BUWAIHI
Menurut Syafiq Mughni, wilayah kekuasaan Dinasti Buwaihi
memang lebih menyerupai sebuah federasi ketimbang kerajaan. Kekuasaan Dinasti
Buwaihi memang lain dengan kekuasaan orang-orang keturunan Saman Khuda (Dinasti
Saman). Unit-unit kekuasaannya lebih dipusatkan di kota-kota besar. Seperti
kekuasaan di Persia
dipusatkan di kota Syiraz dan Isfahan . Kekuasaan di Ray dipusatkan di kota Al-Jibal. Dan,
kekuasaan di Irak dipusatkan di kota Baghdad , Bashrah, dan Mosul . Sistem pemerintahan Dinasti Buwaihi
tidak independen seperti Dinasti Saman. Ali bin Buya masih mengakui otoritas Baghdad sebagai pusat
kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, sekalipun pada waktu itu sudah amat lemah. Ali
bin Buya terus berusaha mendapat simpati dan dukungan politik dari Khalifah
Al-Mustakfi (berkuasa 944-946 M). Jabatan para penguasa Dinasti Buwaihi tidak
lain sebatas gubernur, bukan khalifah. Ini jelas berbeda dengan status jabatan
penguasa beberapa dinasti sebelumnya di Persia . Albert Hourani (2004)
menjelaskan bahwa, para penguasa Dinasti Buwaihi banyak menyandang gelar
dinasti Persia Kuno. Seperti gelar "Syahansyah" (Raja diraja).
Selama abad kekuasaan mereka (masa-masa kejayaan mereka)
yaitu tahun 945-1055, Dinasti buwaihi menaikkan dan menurunkan kholifah
sekehendak hatinya. Irak sebagai sebuah provinsi di perintah dari ibukota
Buwaihi, syiraz di Faris. Di Baghdad mereka melestarikan sejumlah istana megah
dan menyebutnya dengan nama Dar Al Mamlakah (kampung Kerajaan). Baghdad bukan lagi pusat
dunia muslim, karena keunggulan internasionalnya kini di tandingi bukan hanya
oleh Syiraz, tetapi juga oleh Ghaznah, Kairo dan Kordova.
Kekuasaan Buwaihi mencapai puncaknya di bawah
kepemimpinan ‘Adud Al Dawlah (949-983), putra Rukn Al Dawlah. ‘Adud Al Dawlah bukan
hanya seorang penguasa Buwaihi yang paling unggul., tetapi ia juga yang paling
masyhur pada zamanya. Di bawah kendalinya, pada 977 dia berhasil mempersatukan
beberapa kerajaan kecil yang sudah muncul sejak periode kekuasaan Buwaihi di
Persia dan Irak, sehingga membentuk satu Negara yang besarnya hampir menyerupai
Imperium. ‘Adud Al Dawlah menikahi Puteri Kholifah Al Tha’i dan menikahkan
puterinya sendiri dengan sang Kholifah (980), karena dengan cara ini dia
berharap memiliki keturunan yang akan meneruskan kekuasaanya. ‘Adud Al Dawlah
adalah penguasa pertama dalam islam yang menyandang gelar Syahansyah (Seperti gelar
"Syahansyah" (Rajadiraja).[9]
Penelitian arkeologis telah menemukan sebuah medali bertahun 969 M bahwa, para
penguasa Dinasti Buwaihi menggunakan gelar "Syahansyah" (Rajadiraja).
Dengan demikian, Dinasti Buwaihi termasuk generasi penerus peradaban Persia
Kuno, seperti halnya Dinasti Saman, yang bermaksud mengembalikan kejayaan
orang-orang Arya).
D. KEMAJUAN DI ZAMAN DINASTI
BUWAIHI
Meski ‘Adud Al Dawlah tetap mempertahankan istananya di
Syiraz, tetapi dia juga memperindah Baghdad, memperbaiki kanal-kanal yangs udah
usang, dan di beberapa kota-kota lain mendirikan sejumlah masjid, rumah sakit
dan gedung-gedung publik, sebagaimana di catat sejarawan (Ibnu maskawaih) yang
menjadi bendahara ‘Adud Al Dawlah. Untuk lembaga-lembaga penyantun, ‘Adud Al
Dawlah menyediakan dana dari pembendaharaan Negara. Salah satu bangunan menarik
yang di buatnya adalah rumah suci (masyhad) di atas makam yang di anggap
sebagai makam Ali. Bangunan yang terpenting yang di bangun ‘Adud Al Dawlah
adalah rumah sakit Al Bimaristan Al Adudi yang di rampungkan pembangunannya
pada 978-979 dengan biaya sebesar 100.000 dinar. Rumah sakit itu memiliki 24
orang dokter yang juga bertugas sebagai pengajar ilmu Kedokteran. Penyair
seperti Al Mutanabbi’, menyanyikan keagungan ‘Adud Al Dawlah, dan para penulis
lain serta para ahli tata bahasa seperti Abu Ali Al Farisi menulis kitab Al
Iddah (Kitab Penjelasan) mempersembahkan karyannya untuk ‘Adud Al Dawlah.
Dalam rangka menciptakan perdamaian, ‘Adud Al Dawlah
bekerja sama dengan seorang wazir Kristen yang cukup terampil yang bernama Nash
ibn Harun, yang atas otoritas dari Kholifah mendirikan dan memperbaiki sejumlah
gereja dan biara.
Teladan yang di perlihatkan ‘Adud Al Dawlah dalam
dukunganya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan sastra di ikuti oleh
putranya yang bernama Syaraf al Dawlah (983-989). Untuk meniru Al Makmun, maka
Syaraf al Dawlah, setahun sebelum kematiaanya membangun sebuah observatorium
terkenal. Putra ‘Adud Al Dawlah yang lain, yakni penerusnya yang kedua yang
bernama Baha’ Al Dawlah (989-1012), pada tahun 991 menjatuhkan Kholifah al
Tha’i karena merasa iri melihat kekuasaan kekholifahan itu. Dia juga memiliki
wazir yang cerdas dan terkenal yang berkebangsaan Persia , yakni bernama Sabur ibn
Ardasyir. Tahun 993 Sabur ibn Ardasyir mendirikan sebuah Akademi di Baghdad,
lengkap dengan perpustakaan yang menyimpan 10.000 buku, yang pernah di gunakan
oleh penyair Suriah yang bernama Al Ma’arri untuk belajar ketika masih belajar
di kota itu.[10]
E. KEHANCURAN DINASTI BUWAIHI
Peperangan antara Baha’, Syaraf dan saudara ketiga
mereka, Shamsham Al Dawlah, juga pertikaian antar anggota-anggota kerajaan
untuk menentukan penerus mereka serta fakta bahwa Buwaihi berkecenderungan
Syi’ah sehingga sangat di benci oleh orang-orang Baghdad yang Sunni, menjadi sebab-sebab
penting bagi keruntuhan dinasti Buwaihi. Pada tahun 1055, Raja Saljuk yang
bernama Thughril Beg memasuki Baghdad
dan megakhiri riwayat kekuasaan Buwaihi. Raja yang terakhir dari dinasti ini di
Irak yang bernama Al Malik Al RAhim (1048-1055), mengakhiri hidupnya dalam
kurungan.[11]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian dalam pembahasan tentang Dinasti Buwaihi di
atas dapat di simpulkan bahwa, menurut asal usul penguasanya selama masa 508
tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani
Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk.
Ketika berada di bawah kekuasaan Dinasti Buwaihi kedudukan
Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara
itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali
menguasai wilayah bagian selatan negeri Persia ,
Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah Al-Ahwaz,
Wasit dan Baghdad .
Banyak kemajuan-kemajaun yang terjadi di zaman Dianasti
Buwaihi, terutama ketika kepemimpinan ‘Adud Al Dawlah. Dalam dukunganya
terhadap pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan sastra beliau melakukan
pengembangan antara lain memperindah Baghdad ,
memperbaiki kanal-kanal yangs udah usang, dan di beberapa kota-kota lain,
mendirikan sejumlah masjid, rumah sakit dan gedung-gedung publik, observatorium
terkenal dan lain-lain.
Dalam perjalanan berikutnya, karena adanya peperangan
antara pembesar-pembesar dinasti Buwaihi antara lain Baha’, Syaraf dan saudara
ketiga mereka, Shamsham Al Dawlah, dan juga pertikaian antar anggota-anggota
kerajaan untuk menentukan penerus mereka, serta fakta bahwa Buwaihi
berkecenderungan Syi’ah sehingga sangat di benci oleh orang-orang Baghdad yang Sunni,
menjadi sebab-sebab penting bagi keruntuhan dinasti Buwaihi. Selain itu dengan
berkuasanya Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah menggeser kekuasaan Dinasti
Buwaihi. Kehadiran Bani Saljuk ini adalah atas ''undangan'' Khalifah untuk
melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di baghdad .
Dan inilah akhir dari kekuasaan Dinasti Buwaihi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan
Islam, Jakarta :
PT. Bulan Bintang, 1995
E. Abdul, Aziz Tibrizi, Diktat II Sejarah Kebudayaan Islam,
Tangerang, :Pon-pest DaaEl- Qolam
Misbah, Ma'ruf. dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah
Kelas III, Semarang :
CV. Wicaksana
Philip K. Hitti, Dinasti-Dinasti
di Timur, Jakarta :
PT. Rineka Cipta, 1997
Su'ud, Abu. Islamologi, Jakarta :
PT. Rineka Cipta, 2003
[1] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan
Islam, Jakarta :
PT. Bulan Bintang, 1995, h. 210.
[2] Philip K. Hitti, Dinasti-Dinasti
di Timur, Jakarta :
PT. Rineka Cipta, 1997, h. 600
[3] A. Hasjmy, op.cit., h. 210.
[4] Su'ud, Abu. Islamologi, Jakarta : PT. Rineka
Cipta, 2003, h. 72
[5] E. Abdul Aziz Tibrizi, Diktat
II Sejarah Kebudayaan Islam, Tangerang, :Pon-pest DaaEl- Qolam, h. 46
[6] Su'ud, Abu. op.cit., h.
75
[7] Misbah, Ma'ruf. dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah
Kelas III, Semarang :
CV. Wicaksana, h. 61
[8] Philip K. Hitti, op. cit.,
h. 599
[9] Ibid, 598
[10] Ibid, 601
[11] Ibid, 601
Tidak ada komentar:
Posting Komentar