Senin, 09 April 2012

IBNU TUFAIL DAN HAY BIN YAQZHAN


IBNU TUFAIL DAN HAY BIN YAQZHAN
(Telaah Kritis Filsafat " Hay BinYaqzhan)

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
" Sejarah Pemikiran Islam "


Dosen Pengampu :

Prof. Dr. H. Mujamil, M.Ag






Disusun Oleh :

NUR MUSLIMIN
NIM : 284109047



PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUNGAGUNG
2009/2010
BAB I
PENDAHULUAN
       Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibandingkan makhluk ciptaan Alloh yang lainnya. Manusia memiliki kelebihan akal pikiran. Dengan akal yang dimiliki manusia mampu memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada di alam semesta. Kehebatan akal ini mampu membuat pemikiran-pemikiran seakan tiada henti sepanjang masa. Dimanapun kita berada dengan akal kita dapat memecahkan persoalan yang kita hadapi.
       Di dunia ilmu pengetahuan peran akal sangat dominan untuk melakukan penemuan-penemuan dan menjawab permasalahan-permasalahan dalam kehidupan. Betapa hebatnya akal manusia, namun tidak semua manusia mampu memaksimalkan potensinya. Hal ini membawa nuansa kompetitif dalam cakrawala berfikir manusia. Bagi manusia yang mampu memaksimalkan potensi akalnya, maka akan meningkatkan kwalitas kehidupannya.
       Ketika manusia memaksimalkan daya pikirnya manusia mampu memahami kenyataan bahwa manusia dapat hidup bukan karena hidup dengan sendirinya, tapi ada kekuatan lain yang harus kita akui keberadaannya.
       Para Filosof dengan berbagai cara berusaha untuk menjelaskan berbagai obyek kajian pemikiran Islam. Karya besar Hay bin Yaqzdzan adalah salah satu karya yang pantas untuk kita kaji. Gaya bahasa studi filsafat yang ditulis oleh Ibnu Tufail ini
dapat memahami hakekat adanya yang Maha Pencipta, bagi para pembaca. Dalam makalah ini penulis akan membahas sekilas biografi Ibnu Tufail dan pemikiran atau filsafatnya.




1

BAB II
PEMBAHASAN
  1. Hidup dan Karyanya
       Ia adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Abd al-Malik Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tufail al-Qaisi. Berasal dari suku Qais di Maroko. Lahir pada decade pertama abad ke-6 H/ke-12 M, atau tepatnya pada tahun 506 H/110 M.[1] Namun  ada pula yang mengatakan bahwa Ia lahir pada tahun 500 H/1106 M di Guadik, Granada daerah Spanyol Selatan (Andalusia)[2]. Ia menjadi dokter di kota tersebut dan berulang kali menjadi penulis penguasa negerinya. Setelah terkenal ia menjadi dokter pribadi Abu Ya'kub Yusuf Al Mansyur, Kholifah ke-2 dari Daulah Muwahhidin. Dari padanya ia memperoleh kedudukan yang tinggi dan dapat mengumpulkan orang-orang pandai pada masanya di istana kholifah itu. Diantaranya Ibnu Rusyd yang diundang untuk mengulas buku-buku karangan Aristoteles.
       Buku-buku bigrafi menyebutkan beberapa karangan dari Ibnu Tufail yang menyangkut beberapa lapangan filsafat, seperti filsafat fisika, metafisika, kejiwaan dan sebagainya, di samping risalah-risalah (surat-surat) kiriman kepada Ibnu Rusyd. Akan tetapi karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali satu saja, yaitu risalah "Hay bin Yaqadhan" yang
merupakan intisari pikiran-pikiran filsafat Ibnu Tufail dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.[3]
  1. Isi Kisah Hayy Bin Yaqzhan
             Secara ringkas karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau yang tak berpenghuni. Ia disebut oleh Ibu Tufail sebagai Hayy bin Yaqzhan (hidup anak kesadaran) yang kemudian hari
2
 diambil oleh seekor rusa dan dibesarkan dengan air susunya hingga menjadi dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri. Ketika umurnya  mencapai tujuh tahun Hayy bin Yaqzhan menemukan bahwa dirinya ternyata berbeda dengan hewan-hewan lain yang ada di pulau tersebut. Ia melihat bahwa hewan-hewan tersebut ternyata memiliki ekor, pantat dan bulu-bulu di bagian tubuhnya. Hal tersebut membuat Hayy bin Yaqzhan berfikir dan menggunakan potensi akalnya yang kemudian ia menjadikan daun-daunan untuk menutupi badannya untuk beberapa saat sampai akhirnya menggantikannya dengan kulit binatang yang telah mati.[4]
       Dalam pada itu rusa pengasuhnya semakin lama semakin tua dan lemah, kemudian mati. Pikiran manusia yang serba hendak tahu ingin mengetahui sebab terjadinya perubahan besar pada rusa itu. Untuk itu ia membuka salah satu bagian tubuh hewan tersebut, dan dengan cermatnya      ia     menyelidiki
bagian-bagian tubuhnya. Kemudian ia berkesimpulan bahwa jantung merupakan pusat bagi anggota-anggota tubuh.[5]
       Dari hasil pengamatan dan penyelidikan terhadap hewan yang telah mati, Hayy bin Yaqzhan  menyimpulkan bersamaan berhentinya jantung , maka kehidupan makhluk akan berakhir dan mati.
       Pada suatu hari Hayy bin Yaqzhan menyalakan api di pulau tersebut, maka ia mulai merasakan bahwa api ternyata dapat memberikan penerangan dan membangkitkan panas. Tidak cukup dengan itu, ia juga menemukan bahwa daging burung dan ikan yang dibakar api terasa lebih enak dan sedap. Maka mulailah ia selalu menggunakan api untuk memasak makanan dan seterusnya mulailah ia memperkuat penggunaan indranya untuk menggunakan apa yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan-

3
kebutuhannya.[6]
       Hayy bin Yaqzhan juga menyaksikan bahwa alam ini tunduk dalam suatu aturan kosmos dan akan berakhir pada titik ketiadaan. Dan yang dimaksud dengan alam adalah segala eksistensi yang immanent dan dapat kita rasakan dan semua itu mempunyai karakter "Baru" (haadist) yang berarti didahului oleh ketiadaan (yang dalam teori penciptaan disebut sebagai creatio ex nihilo). Karena setiap peristiwa baru mengharuskan adanya yang mengadakan
dan hipotesa ini akhirnya membawa Hayy bin Yaqzhan pada suatu kesimpulan tentang " Sang Pencipta" (The Creator) dan ia juga menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimana perbedaannya ternyata mempunyai titik-titik persamaan baik dari segi asal maupun pembentukan. Maka hal ini mengarahkan pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu (causa prima) maka ia mengimani Tuhan yang satu.
       Kemudian ia mengarahkan pandangannya ke langit dan melihat matahari yang terbit dan terbenam setiap hari secara berulang-ulang. Maka seperti itulah dalam pandangannya aturan kosmos yang berkesinambungan sebagaimana yang terdapat pada planet dan bintang-bintang. Hayy bin Yaqzhan berkesimpulan bahwa termasuk sifat Tuhan adalah apa-apa yang bisa kita lihat melalui jejak-jejak ciptaanNya, maka tampaklah karakter Tuhan sebagai eksistensi yang Maha Sempurna (The perfect one) lagi kekal dan selainnya akan rusak dan berakhir pada ketiadaan.
       Seiring dengan berjalannya waktu sampailah Hayy bin Yaqzhan pada umur ke-35, dan mulailah ia mencari indra apa dalam dirinya yang membawanya pada hipotesa-hipotesa dan menunjukinya pada kesimpulan-


4
kesimpulan yang telah lampau. Maka ia menemukan apa itu akal(reason), ruh (spirit) dan jiwa(nafs/soul). Dan ia tetap hidup di pulaunya beberapa saat dengan kecondongan rohani dan keseanangan melakukan ekstasi (bersemedi)
sambil berkontemplasi tentang segala ciptaan sebagai teofani (tajalliyaat) sang wajibul wujud (The necessary being).
       Sampai pada suatu saat singgahlah di pulau tersebut untuk pertama kalinya seorang manusia yang bernama Absal, seorang ahli ibadah yang hidup secara asketis (zuhd) yang datang dari negeri yang jauh untuk beribadah, bertapa dan berkontemplasi, maka bertemulah Absal dengan Hayy bin Yaqzhan. Dan Hayy bin Yaqzhan pun mengambil pelajaran darinya tentang segala nama-nama (Al Asmaa' kulluhaa) dan kebenaran-kebenaran wahyu (syariat). Dan setelah masa yang panjang Hayy pun akhirnya mampu berbicara dengan bahasa Absal.
       Kedua orang tersebut membandingkan pikirannya masing-masing, di mana yang satu murid dari alam, sedangkan yang lain adalah seorang filosof dan pemeluk agama, maka tahulah keduanya bahwa dirinya telah mencapai kesimpulan yang sama.[7]
       Melalui interaksinya dengan Hayy bin Yaqzhan, maka Absal tahu bahwa apa yang telah dicapai Hayy dengan akalnya secara mandiri tanpa bantuan yang lain itu ternyata mempunyai kesinambungan dengan apa yang telah dibawa oleh nabi-nabi.
       Dari kisah Hayy bin Yaqzhan dapat diambil pelajaran bahwa manusia dengan akalnya dapat berperan secara alami dan perannya seimbang dengan
manusia dengan akalnya yang mendapat petunjuk yang menuntun dan mengarahkan dalam berfikir.

5
       Dari ringkasan isi cerita di atas, Ibnu Tufail sebenarnya hendak menyampaikan kebenaran-kebenaran berikut ini seperti yang disimpulkan oleh Nadhim el Djisr dalam bukunya " Qissat al-Iman".[8]
1.      Urutan-urutan tangga ma'rifah(pengetahuan) yang ditempuh oleh akal, dimulai dari obyek-obyek indrawi yang khusus sampai kepada pemikiran-pemikiran universal.
2.      Tanpa pengajaran dan petunjuk, akal manusia dapat mengetahui wujud Tuhan, yaitu dengan melalui tanda-tandanya pada makhluk-Nya, dan menegakkan dalil-dalil atas wujudNya itu.
3.      Akal manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak menggambarkan ke-azali-an mutlak, ketidak-akhiran, zaman, qadim, huduts (baru) dan hal-hal lain yang sejenis dengan itu.
4.      Baik akal menguatkan qadimnya alam atau keharusannya, namun kelanjutan dari kepercayaan tersebut adalah satu juga yaitu adanya Tuhan.
5.      Manusia dengan akalnya sanggup mengetahui dasar-dasar keutamaan dan dasar-dasar akhlak yang bersifat amali dan kemasyarakatan, serta
berhiaskan diri dengan keutamaan dasar akhlak tersebut, di samping menundukkan keinginan-keinginan badan kepada hukum pikiran, tanpa melalaikan hak badan, atau meninggalkannya sama sekali.
 6. Apa yang diperintahkan oleh syariat Islam, dan apa yang diketahui oleh akal yang sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan, keindahan dapat bertemu kedua-duanya dalam satu titik, tanpa diperselisihkan lagi.
 7.  Pokok dari semua hikmah adalah apa yang telah ditetapkan oleh syara'

6
 yaitu mengarahkan pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya, tanpa membuka kebenaran dan rahasia-rahasia filsafat kepada mereka. Juga pokok pangkal segala kebaikan ialah menetapi batas-batas syara' dan meninggalkan pendalaman sesuatu.
       Kisah Hayy bin Yaqzhan yang diceritakan oleh Ibnu Tufail di atas sesuai dengan Firman Allah SWT dalam  Q.S. Ar Ruum : 30, yang berbunyi :


Artinya : " Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama  (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS: Ar Ruum : 30)[9]
       Kisah Hayy bin Yaqzhan yang ditulis Ibnu Tufail ini juga sesuai dengan hadits Nabi M,uhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi yang berbunyi :


Artinya :" Setiap anak yang dilahirkan itu telah membawa fitrah beragama (perasaan percaya kepada Allah) maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR Baihaqi).[10]
       Pokok pikiran ayat dan hadits di atas hendak mengemukakan bahwa ajaran Islam membantu seseorang yang diberi pikiran sehat yang dapat dipakainya untuk membedakan yang baik dengan yang buruk, dalam menemukan jalan hidup yang baik bagi dirinya sendiri. Ibnu Tufail dalam kisahnya itu juga


7
 membuktikan tidak adanya perlawanan antara filsafat dan ilmu pengetahuan dengan agama. Semuanya itu adalah sama dan sesuai antara satu dengan yang lainnya.


































8

BAB III
KESIMPULAN

       Dari pembahasan Kisah Hayy bin Yaqzhan yang diceritakan oleh Filosof Ibnu  Tufail dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Ibnu Tufail nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Abd al-Malik Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tufail al-Qaisi. Berasal dari suku Qais di Maroko. Lahir pada decade pertama abad ke-6 H/ke-12 M, atau tepatnya pada tahun 506 H/110 M. Namun  ada pula yang mengatakan bahwa Ia lahir pada tahun 500 H/1106 M di Guadik, Granada daerah Spanyol Selatan (Andalusia).
2.      Ibnu Tufail adalah Filosof yang berusaha menjelaskan pemikirannya melalui kisah Hayy bin Yaqzhan dengan membaca kisah tersebut pembaca seakan ikut berperan, merasakan dan merenungkan di mana kesadaran dibangun dengan kekuatan potensi akal yang memahami peran dan fungsinya, melalui fakta-fakta kehidupan di dunia.
3.      Kenyataan yang ada dalam kehidupan merupakan sumber dalam mencapai kesadaran akan kekuasaan Tuhan melalui akal pikiran.
4.      Pemikiran Ibnu Tufail menunjukkan adanya kesesuaian antara filsafat dengan ajaran agama Islam.














9

DAFTAR PUSTAKA

Agama, Departemen, Al Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta, CV Bumi Restu, 1974

Ahmadi, Abu, Filsafat Islam, Semarang, CV. Toha Putra, 1982

Asy Syara', Ismail, Ensiklopedi Filsafat

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam,, Jakarta, CV. Bulan Bintang, 1996

Zuhairini, dkk,. Metodik Khusus Pendidikan Agama, Malang, Biro Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1983




1 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1996, hal., 161
2 Ismail As-Syara, Ensiklopedi Filsafat, hal., 11
[3] Abu Ahmadi, Filsafat Isalam, Semarag, CV. Toha Putra, 1982, hal.. 191
[4] Ahmad Hanafi, Pengantar Fisafat Islam, Op. Cit., hal 162
[5] Abu Ahmadi, Filsafat Islam, Op. cit., hal. 193
[6] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Op. Cit., hal. 163
[7] Ibid., hal 164
[8] Abu Ahmadi, Filsafat Islam, Op. Cit., hal. 194
[9] Departemen Agama, Al Qur'an dan Terjemahnya, PT. Bumi Restu, 1974, hal. 645
[10] Zuhairini dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Malang, Biro Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1983, hal. 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar