IBNU TUFAIL DAN HAY BIN
YAQZHAN
(Telaah Kritis Filsafat " Hay BinYaqzhan)
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
" Sejarah Pemikiran Islam "
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Mujamil, M.Ag
Disusun Oleh :
NUR MUSLIMIN
NIM : 284109047
PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUNGAGUNG
2009/2010
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibandingkan makhluk ciptaan
Alloh yang lainnya. Manusia memiliki kelebihan akal pikiran. Dengan akal yang
dimiliki manusia mampu memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada di alam
semesta. Kehebatan akal ini mampu membuat pemikiran-pemikiran seakan tiada
henti sepanjang masa. Dimanapun kita berada dengan akal kita dapat memecahkan
persoalan yang kita hadapi.
Di dunia ilmu pengetahuan peran akal sangat dominan untuk melakukan
penemuan-penemuan dan menjawab permasalahan-permasalahan dalam kehidupan.
Betapa hebatnya akal manusia, namun tidak semua manusia mampu memaksimalkan
potensinya. Hal ini membawa nuansa kompetitif dalam cakrawala berfikir manusia.
Bagi manusia yang mampu memaksimalkan potensi akalnya, maka akan meningkatkan
kwalitas kehidupannya.
Ketika manusia memaksimalkan daya pikirnya manusia mampu memahami
kenyataan bahwa manusia dapat hidup bukan karena hidup dengan sendirinya, tapi
ada kekuatan lain yang harus kita akui keberadaannya.
Para Filosof dengan berbagai cara berusaha untuk menjelaskan berbagai
obyek kajian pemikiran Islam. Karya besar Hay bin Yaqzdzan adalah salah satu
karya yang pantas untuk kita kaji. Gaya
bahasa studi filsafat yang ditulis oleh Ibnu Tufail ini
dapat memahami hakekat adanya yang Maha
Pencipta, bagi para pembaca. Dalam makalah ini penulis akan membahas sekilas
biografi Ibnu Tufail dan pemikiran atau filsafatnya.
1
BAB II
PEMBAHASAN
- Hidup dan Karyanya
Ia adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Abd
al-Malik Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tufail al-Qaisi. Berasal dari suku Qais
di Maroko. Lahir pada decade pertama abad ke-6 H/ke-12 M, atau tepatnya pada
tahun 506 H/110 M.[1]
Namun ada pula yang mengatakan bahwa Ia
lahir pada tahun 500 H/1106 M di Guadik, Granada
daerah Spanyol Selatan (Andalusia )[2].
Ia menjadi dokter di kota
tersebut dan berulang kali menjadi penulis penguasa negerinya. Setelah terkenal
ia menjadi dokter pribadi Abu Ya'kub Yusuf Al Mansyur, Kholifah ke-2 dari
Daulah Muwahhidin. Dari padanya ia memperoleh kedudukan yang tinggi dan dapat
mengumpulkan orang-orang pandai pada masanya di istana kholifah itu.
Diantaranya Ibnu Rusyd yang diundang untuk mengulas buku-buku karangan
Aristoteles.
Buku-buku bigrafi menyebutkan beberapa
karangan dari Ibnu Tufail yang menyangkut beberapa lapangan filsafat, seperti
filsafat fisika, metafisika, kejiwaan dan sebagainya, di samping
risalah-risalah (surat-surat) kiriman kepada Ibnu Rusyd. Akan tetapi
karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali satu saja, yaitu
risalah "Hay bin Yaqadhan" yang
merupakan intisari
pikiran-pikiran filsafat Ibnu Tufail dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa.[3]
- Isi Kisah Hayy Bin Yaqzhan
Secara ringkas
karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah
pulau yang tak berpenghuni. Ia disebut oleh Ibu Tufail sebagai Hayy bin Yaqzhan
(hidup anak kesadaran) yang kemudian hari
2
diambil oleh seekor rusa dan dibesarkan dengan
air susunya hingga menjadi dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dirinya sendiri. Ketika umurnya mencapai
tujuh tahun Hayy bin Yaqzhan menemukan bahwa dirinya ternyata berbeda dengan
hewan-hewan lain yang ada di pulau tersebut. Ia melihat bahwa hewan-hewan
tersebut ternyata memiliki ekor, pantat dan bulu-bulu di bagian tubuhnya. Hal
tersebut membuat Hayy bin Yaqzhan berfikir dan menggunakan potensi akalnya yang
kemudian ia menjadikan daun-daunan untuk menutupi badannya untuk beberapa saat
sampai akhirnya menggantikannya dengan kulit binatang yang telah mati.[4]
Dalam pada itu rusa pengasuhnya semakin
lama semakin tua dan lemah, kemudian mati. Pikiran manusia yang serba hendak
tahu ingin mengetahui sebab terjadinya perubahan besar pada rusa itu. Untuk itu
ia membuka salah satu bagian tubuh hewan tersebut, dan dengan cermatnya ia menyelidiki
bagian-bagian
tubuhnya. Kemudian ia berkesimpulan bahwa jantung merupakan pusat bagi
anggota-anggota tubuh.[5]
Dari hasil pengamatan dan penyelidikan
terhadap hewan yang telah mati, Hayy bin Yaqzhan menyimpulkan bersamaan berhentinya jantung ,
maka kehidupan makhluk akan berakhir dan mati.
Pada suatu hari Hayy bin Yaqzhan menyalakan
api di pulau tersebut, maka ia mulai merasakan bahwa api ternyata dapat
memberikan penerangan dan membangkitkan panas. Tidak cukup dengan itu, ia juga
menemukan bahwa daging burung dan ikan yang dibakar api terasa lebih enak dan
sedap. Maka mulailah ia selalu menggunakan api untuk memasak makanan dan
seterusnya mulailah ia memperkuat penggunaan indranya untuk menggunakan apa
yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan-
3
kebutuhannya.[6]
Hayy bin Yaqzhan juga menyaksikan bahwa
alam ini tunduk dalam suatu aturan kosmos dan akan berakhir pada titik
ketiadaan. Dan yang dimaksud dengan alam adalah segala eksistensi yang immanent
dan dapat kita rasakan dan semua itu mempunyai karakter "Baru"
(haadist) yang berarti didahului oleh ketiadaan (yang dalam teori penciptaan
disebut sebagai creatio ex nihilo). Karena setiap peristiwa baru mengharuskan
adanya yang mengadakan
dan hipotesa ini
akhirnya membawa Hayy bin Yaqzhan pada suatu kesimpulan tentang " Sang
Pencipta" (The Creator) dan ia juga menyaksikan bahwa segala eksistensi di
alam ini bagaimana perbedaannya ternyata mempunyai titik-titik persamaan baik
dari segi asal maupun pembentukan. Maka hal ini mengarahkan pada pemikiran
bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu (causa prima) maka ia
mengimani Tuhan yang satu.
Kemudian ia mengarahkan pandangannya ke
langit dan melihat matahari yang terbit dan terbenam setiap hari secara
berulang-ulang. Maka seperti itulah dalam pandangannya aturan kosmos yang
berkesinambungan sebagaimana yang terdapat pada planet dan bintang-bintang.
Hayy bin Yaqzhan berkesimpulan bahwa termasuk sifat Tuhan adalah apa-apa yang
bisa kita lihat melalui jejak-jejak ciptaanNya, maka tampaklah karakter Tuhan
sebagai eksistensi yang Maha Sempurna (The perfect one) lagi kekal dan
selainnya akan rusak dan berakhir pada ketiadaan.
Seiring dengan berjalannya waktu
sampailah Hayy bin Yaqzhan pada umur ke-35, dan mulailah ia mencari indra apa
dalam dirinya yang membawanya pada hipotesa-hipotesa dan menunjukinya pada
kesimpulan-
4
kesimpulan yang
telah lampau. Maka ia menemukan apa itu akal(reason), ruh (spirit) dan
jiwa(nafs/soul). Dan ia tetap hidup di pulaunya beberapa saat dengan
kecondongan rohani dan keseanangan melakukan ekstasi (bersemedi)
sambil berkontemplasi
tentang segala ciptaan sebagai teofani (tajalliyaat) sang wajibul wujud (The
necessary being).
Sampai pada suatu saat singgahlah di
pulau tersebut untuk pertama kalinya seorang manusia yang bernama Absal,
seorang ahli ibadah yang hidup secara asketis (zuhd) yang datang dari negeri
yang jauh untuk beribadah, bertapa dan berkontemplasi, maka bertemulah Absal
dengan Hayy bin Yaqzhan. Dan Hayy bin Yaqzhan pun mengambil pelajaran darinya
tentang segala nama-nama (Al Asmaa' kulluhaa) dan kebenaran-kebenaran wahyu
(syariat). Dan setelah masa yang panjang Hayy pun akhirnya mampu berbicara
dengan bahasa Absal.
Kedua orang tersebut membandingkan
pikirannya masing-masing, di mana yang satu murid dari alam, sedangkan yang
lain adalah seorang filosof dan pemeluk agama, maka tahulah keduanya bahwa
dirinya telah mencapai kesimpulan yang sama.[7]
Melalui interaksinya dengan Hayy bin
Yaqzhan, maka Absal tahu bahwa apa yang telah dicapai Hayy dengan akalnya
secara mandiri tanpa bantuan yang lain itu ternyata mempunyai kesinambungan
dengan apa yang telah dibawa oleh nabi-nabi.
Dari kisah Hayy bin Yaqzhan dapat
diambil pelajaran bahwa manusia dengan akalnya dapat berperan secara alami dan
perannya seimbang dengan
manusia dengan
akalnya yang mendapat petunjuk yang menuntun dan mengarahkan dalam berfikir.
5
Dari ringkasan isi cerita di atas, Ibnu
Tufail sebenarnya hendak menyampaikan kebenaran-kebenaran berikut ini seperti
yang disimpulkan oleh Nadhim el Djisr dalam bukunya " Qissat al-Iman".[8]
1.
Urutan-urutan tangga
ma'rifah(pengetahuan) yang ditempuh oleh akal, dimulai dari obyek-obyek indrawi
yang khusus sampai kepada pemikiran-pemikiran universal.
2.
Tanpa pengajaran dan petunjuk,
akal manusia dapat mengetahui wujud Tuhan, yaitu dengan melalui tanda-tandanya
pada makhluk-Nya, dan menegakkan dalil-dalil atas wujudNya itu.
3.
Akal manusia ini kadang-kadang
mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran,
yaitu ketika hendak menggambarkan ke-azali-an mutlak, ketidak-akhiran, zaman,
qadim, huduts (baru) dan hal-hal lain yang sejenis dengan itu.
4.
Baik akal menguatkan qadimnya alam
atau keharusannya, namun kelanjutan dari kepercayaan tersebut adalah satu juga
yaitu adanya Tuhan.
5.
Manusia dengan akalnya sanggup
mengetahui dasar-dasar keutamaan dan dasar-dasar akhlak yang bersifat amali dan
kemasyarakatan, serta
berhiaskan diri
dengan keutamaan dasar akhlak tersebut, di samping menundukkan
keinginan-keinginan badan kepada hukum pikiran, tanpa melalaikan hak badan,
atau meninggalkannya sama sekali.
6. Apa yang diperintahkan oleh syariat Islam,
dan apa yang diketahui oleh akal yang sehat dengan sendirinya, berupa
kebenaran, kebaikan, keindahan dapat bertemu kedua-duanya dalam satu titik,
tanpa diperselisihkan lagi.
7. Pokok
dari semua hikmah adalah apa yang telah ditetapkan oleh syara'
6
yaitu mengarahkan pembicaraan kepada orang
lain menurut kesanggupan akalnya, tanpa membuka kebenaran dan rahasia-rahasia
filsafat kepada mereka. Juga pokok pangkal segala kebaikan ialah menetapi
batas-batas syara' dan meninggalkan pendalaman sesuatu.
Kisah Hayy bin Yaqzhan
yang diceritakan oleh Ibnu Tufail di atas sesuai dengan Firman Allah SWT
dalam Q.S. Ar Ruum : 30, yang berbunyi :
Artinya
: " Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui." (QS: Ar Ruum : 30)[9]
Kisah Hayy bin Yaqzhan yang ditulis Ibnu
Tufail ini juga sesuai dengan hadits Nabi M,uhammad SAW yang diriwayatkan oleh
Imam Baihaqi yang berbunyi :
Artinya
:" Setiap anak yang dilahirkan itu telah membawa fitrah beragama (perasaan
percaya kepada Allah) maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut
beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR Baihaqi).[10]
Pokok pikiran ayat dan hadits di atas
hendak mengemukakan bahwa ajaran Islam membantu seseorang yang diberi pikiran
sehat yang dapat dipakainya untuk membedakan yang baik dengan yang buruk, dalam
menemukan jalan hidup yang baik bagi dirinya sendiri. Ibnu Tufail dalam
kisahnya itu juga
7
membuktikan tidak adanya perlawanan antara
filsafat dan ilmu pengetahuan dengan agama. Semuanya itu adalah sama dan sesuai
antara satu dengan yang lainnya.
8
BAB
III
KESIMPULAN
Dari pembahasan Kisah Hayy bin Yaqzhan yang diceritakan oleh Filosof
Ibnu Tufail dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1.
Ibnu Tufail nama lengkapnya
adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Abd al-Malik Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tufail
al-Qaisi. Berasal dari suku Qais di Maroko. Lahir pada decade pertama abad ke-6
H/ke-12 M, atau tepatnya pada tahun 506 H/110 M. Namun ada pula yang mengatakan bahwa Ia lahir pada
tahun 500 H/1106 M di Guadik, Granada daerah
Spanyol Selatan (Andalusia ).
2.
Ibnu Tufail adalah Filosof yang
berusaha menjelaskan pemikirannya melalui kisah Hayy bin Yaqzhan dengan membaca
kisah tersebut pembaca seakan ikut berperan, merasakan dan merenungkan di mana
kesadaran dibangun dengan kekuatan potensi akal yang memahami peran dan
fungsinya, melalui fakta-fakta kehidupan di dunia.
3.
Kenyataan yang ada dalam
kehidupan merupakan sumber dalam mencapai kesadaran akan kekuasaan Tuhan
melalui akal pikiran.
4.
Pemikiran Ibnu Tufail
menunjukkan adanya kesesuaian antara filsafat dengan ajaran agama Islam.
9
DAFTAR
PUSTAKA
Agama, Departemen, Al Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta , CV Bumi Restu,
1974
Ahmadi, Abu, Filsafat Islam, Semarang , CV. Toha Putra, 1982
Asy Syara', Ismail, Ensiklopedi Filsafat
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam,, Jakarta , CV. Bulan
Bintang, 1996
Zuhairini, dkk,. Metodik Khusus Pendidikan Agama, Malang , Biro Ilmiah
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1983
[3] Abu Ahmadi, Filsafat Isalam, Semarag, CV. Toha Putra, 1982, hal..
191
[4] Ahmad Hanafi, Pengantar Fisafat Islam, Op. Cit., hal 162
[5] Abu Ahmadi, Filsafat Islam, Op. cit., hal. 193
[6] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Op. Cit., hal. 163
[7] Ibid., hal 164
[8] Abu Ahmadi, Filsafat Islam, Op. Cit., hal. 194
[9] Departemen Agama, Al Qur'an dan Terjemahnya, PT. Bumi Restu, 1974,
hal. 645
[10] Zuhairini dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Malang , Biro Ilmiah Fakultas Tarbiyah IAIN
Sunan Ampel, 1983, hal. 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar