Senin, 09 April 2012

PEMBAGIAN HADITS MENURUT KUALITASNYA


PEMBAGIAN HADITS MENURUT KUALITASNYA

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“Studi Hadits”


Dosen Pembimbing :

Prof. Dr. ZAINUL ARIFIN, M.Ag
Dr. IFFATIN NUR, M.Ag









Oleh :

NUR MUSLIMIN
NIM. 284109047





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
STAIN TULUNGAGUNG
2009 / 2010

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
                 Bicara mengenai pembagian hadits dilihat dari segi kualitasnya, tidak terlepas dari pembahasan hadits ditunjau dari segi kualitasnya, yang telah dibagi menjadi dua yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Hadits mutawatir mempunyai pengertian bahwa hadits tersebut Yaqin bi al-qath’i, artinya Nabi Muhammad SAW. betul-betul bersabda, berbuat dan menyetujuinya (iqrar) di hadapan para sahabat. Dengan demikian maka dapat dikatakan hadits ini mempunyai sumber yang kuat, disepakati dan keberadaannya dapat dipercaya serta meyakinkan. Sehingga ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa adanya penelitian ataupun penyelidikan baik terhadap sanad atau matanya.
                 Sebaliknya yang kedua adalah hadits ahad, dimana faedah yang diberikan bersifat zhonny (prasangka yang kuat akan kebenarannya). Dengan demikian maka mengharuskan kepada kita untuk mengadakan pengkajian, penyelidikan terhadap hadits tersebut, baik pada sanadnya ataupun matanya. Sehingga kejelasan status hadits ini menjadi nyata, untuk dipergunakan sebagai hijjah atau tidak.
                 Oleh karena itu. Dengan melihat persoalan ini maka para ulama ahli hadits membagi hadits, ditinjau dari segi kualitasnya, menjadi dua bagian yang hadits maqbul dan hadits mardud.1

BAB II
PEMBAHASAN

            Sebagaimana di jelaskan dipendahuluan, jadi hadits ditinjau dari segi kualitasnya ada dua macam, yaitu :
A.   Hadits Maqbul
                 Menurut bahasa maqbul berarti ma’khuz (yang diambil) dan mushaddaq (yang dibenarkan atau diterima). Adapun menurut istilah adalah “Hadits yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan”.2
                 Suatu hadits menjadi hadits yang maqbul, ketika syarat-syarat penerimaannya terpenuhi, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhobit. Serta keberadaan matanya tidak syadz dan tidak juga ber’illat. Adapun yang boleh diamalkan adalah hadits yang muhkam, yaitu yang memberikan pengertian jelas, mukhtalif yakni dikompromikan dari dua buah hadits atau lebih, Rajih, yaitu yang kuat, dan hadits nasikh yakni yang menasekh hadits yang lebih dulu. Sedangkan yang tidak boleh diamalkan adalah hadits yang marjuh yakni hadits yang telah dinasakh (dihapus) serta hadits mutawaguf fih, yaitu yang kehujjahannya ditunda disebabkan ada perselisihan antara satu hadits dengan yang lain dan dibagi menjadi dua yaitu hadits shohih dan Hasan.

B.   Hadits Mardud
Text Box: 2 Ibid,
3 Ibid, 125.                 Secara bahasa mardud berarti “yang ditolak” dan “tidak diterima”. Adapun menurut istilah adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadits maqbul.3 Yang dimaksud tidak terpenuhinya syarat tersebut adalah yang terjadi pada sanad dan matan. Oleh karena itu, maka para ulama membagi hadits ini menjadi dua, yaitu hadits dho’if dan maudhu’.
                 Selanjutnya pembagian hadits ditinjau dari segi diterima atau tidaknya, dibagi menjadi tiga, yaitu : hadits shohih, hasan dan dho’if. Sebenarnya pembagian ini belum dikenal pada masa abad pertengahan ketiga hihriah, yaitu pada masa empat imam madzhab yang hanya membagi menjadi dua, yaitu hadits shohih (maqbul) dan hadits yang ditolak (mardud).
                 Ibnu Taymiyah mengemukakan, bahwa pembagian hadits ini menjadi tiga, mulai dikenalkan oleh Abu ‘Isa al-Tirmidzi. Adapun penjelasan tentang pembagian hadits menjadi tiga adalah sebagai berikut :
       1.   Hadits Shohih
          a.  Pengertian Hadits Shohih
                           Menurut  para ulama hadits, definisi hadits shohih adalah hadits yang sanadnya sambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir kepada Rasulullah SAW. atau kepada sahabat atau kepada tabi’in dan bukan hadits yang syadz (kontroversial).
                           Al-Suyuthi juga memberikan definisi lebih ringkas hadits shohih adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syadz dan tidak berillat.5
                           Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa hadits itu tersebut hadits shohih jika terpenuhi syarat-syarat yang dijelaskan dalam pengertian definisi di atas.
                           Adapun contoh hadits shohih adalah :
Text Box: 4 Subdi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995), 132.
5 Suparta, Ilmu Hadits, 129.




                 Artinya :
                 “Telah meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin Said, ia berkata telah meriwayatkan kepada kami jarir dari Umarah bin Qa’ga dari Abu Zurah dari Abu Hurairah, ia berkata “Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW. lalu berkata, “Ya Rasulullah siapakah yang berhak mendapat perlakuan yang baik? Rasulullah menjawab, “ibumu”, orang itu bertanya lagi, “kemudian siapa?” Rasulullah menjawab, “ibumu”. Orang itu kembali bertanya, “kemudian siapa?” Rosulullah menjawab “ibumu”. Orang itu bertanya lagi, “kemudian siapa?” Rasulullah menjawab “Bapakmu”. (HR. Bukhori-Muslim).6
                 Pada hadits di atas, sanadnya bersambung melalui orang yang adil dan tsabit. Dan para rawi dalam sanad di atas seluruhnya tergolong orang yang siqot, serta tidak ada yang janggal. Dengan demikian hadits ini termasuk hadits shohih.
            b.  Syarat-syarat hadits shohih
                           adapun syarat-syarat hadits shohih adalah :
1.      Sanadnya bersambung, yakni dari awal sampai akhir.
2.      Perawinya adil, yakni tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus, jujur
3.      Perawinya dhabit, yakni mempunyai daya ingatan dengan sempurna
4.      Tidak sydz (janggal)
5.      Tidak berillat, yakni tidak cacat, penyakit.7

Text Box: 6 Muhammad Ahmad, M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), 102
7 Usman Sya’roni, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002), 19-20
            c.  Macam-macam hadits shohih
                           Hadits shohih menjadi dua bagian yaitu :
                 1.    Hadits sahih lizatihi, yaitu hadits shohih yang memenuhi secara lengkap syarat-syarat hadits shohih.
                        Contoh :



                        Artinya :
                        “Bukhori berkata, “Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah SAW. bersabda “Apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga. (HR. Bukhori)”.8
                                    Semua nama-nama tersebut mulai dari bukhori sampai dengan Abdullah adalah para rawi yang adil, dhabit, dan bersambung, serta tidak cacat, sehingga disebut hadits shohih lizatihi.
                 2.    Hadits shohih Li Gairihi, yatitu hadits yang keadaan rawi-rawinya kurang hafidh serta dhobit, tetapi mereka masih kerkenal jujur, sehingga karenanya berderajat hasan, kemudian didapati dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat yang dapat menutupi kekurangannya tersebut.9
                        Contoh :




Text Box: 8 Muhammad Ahmad, M. Mudzakir, Ulumul Hadis, 106
9 Fatchur Rohman, Ikhtisar Mushotholahul Hadits, (Bandung : Alma’arif, 1991), 101
                        Artinya :
                        Dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah bersabda, “sekiranya tidak menyusahkan umat-Ku, tentu aku menyuruh mereka bersiwak (menggosok gigi) setiap sholat (HR. Bukhori dan Turmuzi).
                 d.    Kehujjahan Hadits shohih
                                    Para ulama sepakat menjadikan hadits shohih sebagai hujjah yang wajib bermal dengannya, dalam penetapan halal atau haramnya sesuatu, tetapi tidak dalam hal yang berhubungan dengan akidah (keyakinan). Dan yang paling penting untuk diketahui adalah martabat hadits shohih tergantung kepada kedhobitan dan keadilan para rawinya. Semakin dhobit dan adil si perowi, maka semakin tinggi pula tingkat kwalitas hadits tersebut. Dengan demikian maka semakin kuat untuk dijadikan hujjah.
            2.  Hadits Hasan
                 a.    Pengertian
                                    Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi hadits hasan ini. Hal ini disebabkan posisi dari hadits ini menduduki posisi diantara hadits shohih dan hadits dho’if yang dipakai untuk hujjah. Yang sebenarnya memberikan definisi hasan adalah Imam Turmudzi karena ia melihat bahwa banyak jenis hadits dho’if, yang sebenarnya tidak terlalu dho’if. At-Turmudzi mendefinisikan bahwa hadits hasan ialah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan yang sepadan maknanya.
                                    Sedangkan menurut Ibnu Hajar, hadits hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang sedikit kedhobitannya, bersambung-sambung sanadnya sampai kepada Nabi SAW. dan tidak mempunyai ‘illat serta syadz.10
Text Box: 10 Moh. Anwar, Ilmmu Mushtholahah Hadits, (Surabaya : Al Ikhlas, 1981) 60
                                    Adapun menurut jumhurul Muhadditsin adalah hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, tetapi tidak begitu kokoh ingatannya. Serta bersambung sanadnya dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya.11
                                    Jadi dari definisi-definisi di atas, dapat dikatakan bahwa hadits hasan hampir sama dengan hadits shohih, yang membedakan hanya dalam soal ingatan perawi, di mana daya hafalnya kurang sempurna.
                 b.    Syarat-syarat hadits hasan
                                    menurut mayoritas ulama hadits, syarat-syarat hadits hasan adalah :
1.      Sanadnya bersambung
2.      Perawinya adil
3.      Perawinya dhobit, tetapi kurang sempurna (di bawah perawi hadits shohih)
4.      Tidak ada kejanggalan
5.      Tidak ada illat.12
                 c.    Macam-macam hadits hasan
                                    Para ulama membagi hadits hasan menjadi dua, yaitu :
                        1.   Hadits hasan li dzatihi, adalah hadits yang memenuhi segala syarat-syarat hadits hasan. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa hadits hasan juga hadits hasan li dzatihi.
                              Contoh hadits yang berbunyi :

                             
Text Box: 11 Rohman, Ikhtisat Mushtholahul, 111.
12 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), 172.                                    Hadits ini hasan li dzatihi. Muhammad Ibn Amr bin Alqamah terkenal baik dan jujur, tapi kurang dhobit, sehingga para ulama melemahkan hadits-hadits yang diriwayatkannya. Oleh karena itu
                              Berstatus li dzatih, tetapi ada riwayat lain dari jalur Al-A’raj dari Abu Hurairah, maka naik menjadi hadits shohih li ghairihi.
                        2.   Hadits hasan li ghairihi
                                    Adalah hadits yang di bawah derajat hasan, yang kemudian naik ke tingkat hadits hasan, disebabkan karena ada hadits lain yang menguatkannya. Tetapi untuk hadits dho’if yang rawinya dikenal pendusta atau fasiq, sekalipun dikuatkan hadits lain, maka tidaklah hilang kedhoifannya.
                              Contoh hadits hasan li ghoirihi


                             
                              Artinya :
                              Rasulullah SAW. bersabda, “Merupakan hak atas kaum muslimin, mandi pada hari jum’at.” (HR. Turmuzi).13
                                    Hadits ini diterima oleh Turmuzi melalui dua buah sanad. Dari sanad yang pertama terpercaya kecuali Abu Yahya bin Ibrahim at Taini, ia lemah hafalnya. Sanad yang kedua juga dipandang dho’if karena ada dua sanad dan saling menguatkan makna masing-masing naik menjadi hadits hasan li ghoirihi.
                 d.    Kehujjahan hadits hasan
                                    Para ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadits hasan ini sama seperti hadits shohih, adapun berhujjah kepada hadits li ghoirihi, jika kekurangan-kekurangannya dapat di minimalisir atau ditutupi oleh banyaknya riwayat lain, sah berhujjah dengannya.



13 Ahmad, Mudzakir, Ulumul Hadits, 116-117.
            3.  Hadits Dho’if
                 a.   Pengertian
                                 Secara bahasa kata dho’if artinya lemah. Adapun secara istilah para ulama mengidentifikasikan bahwa hadits dho’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shohih, juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.14
                 b.   Sebab-sebab hadits dho’if tertolak
                                 Para ahli hadits mengatakan bahwa sebab-sebab tertolaknya hadits ini ada dua yaitu :
                       1).  Sanad hadits, yang meliputi :
                             - Ada kecacatan pada para rawinya, baik dalam keadilannya maupun kedhabitannya.
                             -   Sanadnya tidak bersambung
                       2).  Macam hadits, yang meliputi :
                             -   Hadits Mauguf
                             -   Hadits Maqthu’
                 c.   Macam-macam hadits dho’if
                                Berdasarkan sebab-sebab di atas, maka hadits dho’if dikelompokkan sebagai berikut :
                       1).  Pada sanadnya
                             a).  Dho’if karena tidak bersambung sanadnya
                                  (1). Hadits Mungathi’
                                                  Yaitu hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau disebutkan pada sanadnya nama seseorang yang tidak dikenal. Pengertian di sini bukanlah rawi ditingkat sahabat, tetapi minimal gugur seorang tabi’in.

 

14 Ibid., 147
                                                      Contoh :





                                  (2). Hadits Mu’allaq
                                                  Yaitu hadits yang rowinya digugurkan seorang atau lebih di awal sanadnya secara berturut-turut. Contoh hadits riwayat Bukhari yang berbunyi


                                  (3). Hadits Mursal
                                                  Yaitu hadits yang gugur sanadnya selalu tabi’in. Maksudnya nama yang terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits dari Rasul. Adapun mursal ada dua macam, yaitu :
-          Mursal al-jali, nama yang tidak disebutkan dilakukan oleh tabi’in besar
-          Mursal al-khafi, yaitu pengguguran nama sahabat yang dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil.
Contoh :



                                  (4). Hadits mu’dhal
                                                  Yaitu hadits gugur dua orang sanadnya atau lebih, secara berturut-turut. Perbedaanya antara hadits mu’adal dengan hadits mungathi’, kalau hadits mu’dal, gugurnya dua rowi tersebut secara berturut-turut, dan dimanapun saja. Adapun hadits mungathi’, gugurnya dua rowi itu terjadi secara terpisah atau tidak berturut-turut, dan tidak pada tingkat pertama.
                                                  Sebagai contoh, Imam Malik berkata adalam kitab Al-Muwaththo’, “Telah menyampaikan kepadaku Abu Hurairoh bahwa Rasulullah SAW. bersabda”

           
                                         Artinya : “Bagai budak itu ada hak makanan dan pakaian”
                                                  Hadits ini disebut mu’dhal, sebab tidak mungkin Imam Malik menerima hadits dari Abu Hurairoh.
                                  (5). Hadits Mudallas
                                                  Yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits tersebut tiada bernoda. Dalam hadits ini rowi menggugurkan rowi yang lain dengan maksud agar aib dan kelemahan suatu hadits dapat ditutupi. Orang yang melakukan disebut mudallis, perbuatannya disebut tadlis, dan haditsnya disebut hadits mudallas.15
                             b)   Dha’if karena tiadanya syarat adil
                                  (1). Hadits al-maudhu’
                                                  Hadits maudhu’ adalah hadits yang dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan, hadits maudhu’ adalah hadits yang bukan dari hadits Rasulullah SAW. Tetapi disandarkan oleh seseorang secara dusta dan sengaja kepada Rasulullah.


 

15 Suparta, Ilmu Hadis, 158.
           
Hadits ini juga disebut hadits   palsu,  juga  merupakan seburuk-buruk hadits dhaif.
                                         Contoh :


                                         Artinya : “Orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu aku (Muhammad), Jibril dan Muawiyah.”
                                                  Jelas sekali bahwa ini adalah buatan orang-orang yang fanatik terhadap muawiyah.
                                  (2). Hadits matruk
                                                  Hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh pernah berdusta (baik itu berkenaan dengan hadits atau masalah yang lain) atau tertuduh pernah berbuat maksiat, atau lalai, atau banyak ragu.
                                  (3). Hadits mungkar
                                                  Hadits mungkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang lemah yang menyalahi (berlawanan) dengan rowi yang lain yang lebih kuat (kepercayaan).16
                             c).  Dhaif karena tiadanya dhabit
                                  (1). Hadits mudroj
                                                  Yaitu hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal itu bukan dari bagian hadits, atau yang dimasuki sisipan. Sisipan itu bisa terjadi pada sanad, atau matan dan atau keduanya.
                                  (2). Hadits maglub
Text Box: 16 Ahmad, Mudzakir, Ulumul Hadis, 156                                                  Yaitu hadits yang terjadi pemutarbalikan pada matannya atau pada nama rowi dalam sanadnya atau juga penukaran suatu sanad untuk matan yang lain. Tertukarnya hadits ini, bisa terjadi pada matannya dan juga bisa terjadi pada sanadnya. Dan hadits ini tidak dibenarkan dalam periwayatan, karena akan mengakibatkan perubahan maksud juga makna hadits tersebut.
                                  (3). Hadits mudhothorib
                                                  Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda, padahal diriwayatkan oleh satu rowi, dua atau lebih, atau juga dari dua rowi atau lebih yang berdekatan (dan tidak bisa ditarjih)
                                  (4). Hadits mushahhaf dan muharraf
                                                  Hadits mushahhaf adalah terjadinya perubahan redaksi hadits dan maknanya. Sedangkan muharraf adalah hadits yang perbedaannya terjadi karena disebabkan oleh perubahan syakal kata dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
                                                  Perbedaan kedua hadits ini bisa terjadi di matan atau di sanadnya.
                             d). Dhaif karena kejanggalan dan kecacatan
                                  (1). Hadits syadz
                                                  Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang magbul, tetapi bertentangan (matannya) kepada periwayatan dari orang lain yang kualitasnya lebih utama.
                                  (2). Hadits mu’allal
                                                  Yaitu hadits yang diketahui illatnya setelah dilakukan penelitian serta penyelidikan, walupun pada lahirnya nampak selamat dari kecacatan.17

 

17 Suparta, Ilmu Hadis, 168-170.
                        2).   Dhoif dari segi matan
                                         Pada ahli hadits mengelompokkan hadits dho’if dari segi persandarannya ini menjadi dua, yaitu :
                               a).  Hadits mauguf
                                              Hadits mauguf adalah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik itu berupa perkataan atau perbuatan juga tagrirnya, baik periwayatannya itu bersambung atau tidak. Atau dengan pengertian lain, hadits yang disandarkan kepada sahabat.
                               b). Hadits maqthu’
                                              hadits maqthu’ adalah hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan atau perbuatannya. Dengan kata lain, yaitu perkataan atau perbuatan tabi’in.18
                 d.    Penerimaan dan pengamalan hadits dho’if
                                    Berdasarkan kesepakatan para ulama hadits, tidak diperbolehkan mengamalkan hadits dhoif ini baik di dalam penetapan hukum-hukum maupun aqidah serta fadhoil al-‘amal. Adapun Imam Bukhari, Imam Muslum serta Abu Bakr ibn Al-‘Araby berpendapat menolak secara muthlak hadits dhoif ini baik dalam penetapan hukum, aqidah serta fadhoil al-‘amal.
                                    Tetapi menurut Imam Abu Hanifah, Al-Nasa’I serta Abu Daud membolehkan beramal dengan hadits dhoif ini secara mutlak. Alasan mereka hadits dhoif ini lebih disukai dibandingkan mendasarkan pendapatnya kepada akal pikiran atau juga qiyas. Sedangkan Abd Al-Rahman ibn Almandy dan Abdullah ibn Al-Mubarok serta Ahmad ibn Hambal menerima pengamalan hadits dhoif sebatas fardhoil al-‘amal.
 

18 Ibid, 171.
                        Sementara Al-Suyuthi berpendapat memperbolehkan beramal dengan hadits dhoif dalam masalah hukum dengan maskdu ikhtiyah.19
                                    Dari perbedaan pengamalan ini dapat kita ambil hikmah, apakah dapat menjadi bertambah amal hasanah atau tidak, maka itu semua tergantung kondisi serta situasi yang mengarah kepada kemashlahatan.





















 

19 Ibid.
BAB III
PENUTUP
(KESIMPULAN

            Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hadits ditinjau dari segi kualitasnya menjadi dua bagian, yaitu hadits magbul (yang diterima) dan hadits mardud (yang ditolak). Kemudian selanjutnya dilihat dari diterima dan ditolaknya hadits tersebut, maka dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1.      Hadits Sahih
2.      Hadits Hasan
3.      Hadits Dho’if
            Dari ketiga macam hadits tersebut, yang paling tinggi tingkatannya adalah hadits sahih dan wajib mengamalkannya. Kemudian disusul hadits hasan, dimana pengamalannya wajib meskipun tingkat kewajibannya di bawah hadits sahih. Sedangkan yang terakhir adalah hadits dho’if, dimana pengamalannya tidak diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama hadits, meskipun ada beberapa ulama yang berbeda pendapat tentang memperbolehkan pengamalannya.

DAFTAR RUJUKAN
 

Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
as-Shalih, Subdi, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Ahmad, Muhammad, M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2000 102
Sya’roni, Usman, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadits dan Kaum Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002
Rohman, Fatchur, Ikhtisar Mushtholahul Hadits, Bandung: Alma’arif, 1991
Anwar, Moh., Ilmmu Mushtholahah Hadits, Surabaya: Al Ikhlas, 1981
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar