PEMBAGIAN HADITS MENURUT
KUALITASNYA
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Studi Hadits”
Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. ZAINUL ARIFIN, M.Ag
Dr. IFFATIN NUR, M.Ag
Oleh :
NUR MUSLIMIN
NIM. 284109047
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
STAIN TULUNGAGUNG
2009 / 2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bicara mengenai pembagian
hadits dilihat dari segi kualitasnya, tidak terlepas dari pembahasan hadits
ditunjau dari segi kualitasnya, yang telah dibagi menjadi dua yaitu hadits
mutawatir dan hadits ahad. Hadits mutawatir mempunyai pengertian bahwa hadits
tersebut Yaqin bi al-qath’i, artinya Nabi Muhammad SAW. betul-betul bersabda,
berbuat dan menyetujuinya (iqrar) di hadapan para sahabat. Dengan demikian maka
dapat dikatakan hadits ini mempunyai sumber yang kuat, disepakati dan
keberadaannya dapat dipercaya serta meyakinkan. Sehingga ia harus diterima dan
diamalkan dengan tanpa adanya penelitian ataupun penyelidikan baik terhadap
sanad atau matanya.
Sebaliknya yang kedua adalah
hadits ahad, dimana faedah yang diberikan bersifat zhonny (prasangka yang kuat
akan kebenarannya). Dengan demikian maka mengharuskan kepada kita untuk
mengadakan pengkajian, penyelidikan terhadap hadits tersebut, baik pada
sanadnya ataupun matanya. Sehingga kejelasan status hadits ini menjadi nyata,
untuk dipergunakan sebagai hijjah atau tidak.
Oleh karena itu. Dengan melihat
persoalan ini maka para ulama ahli hadits membagi hadits, ditinjau dari segi
kualitasnya, menjadi dua bagian yang hadits maqbul dan hadits mardud.1
BAB II
PEMBAHASAN
Sebagaimana di
jelaskan dipendahuluan, jadi hadits ditinjau dari segi kualitasnya ada dua
macam, yaitu :
A. Hadits Maqbul
Menurut bahasa maqbul berarti
ma’khuz (yang diambil) dan mushaddaq (yang dibenarkan atau diterima). Adapun
menurut istilah adalah “Hadits yang telah sempurna padanya, syarat-syarat
penerimaan”.2
Suatu hadits menjadi hadits
yang maqbul, ketika syarat-syarat penerimaannya terpenuhi, yaitu sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhobit. Serta keberadaan
matanya tidak syadz dan tidak juga ber’illat. Adapun yang boleh diamalkan
adalah hadits yang muhkam, yaitu yang memberikan pengertian jelas, mukhtalif
yakni dikompromikan dari dua buah hadits atau lebih, Rajih, yaitu yang kuat,
dan hadits nasikh yakni yang menasekh hadits yang lebih dulu. Sedangkan yang
tidak boleh diamalkan adalah hadits yang marjuh yakni hadits yang telah
dinasakh (dihapus) serta hadits mutawaguf fih, yaitu yang kehujjahannya ditunda
disebabkan ada perselisihan antara satu hadits dengan yang lain dan dibagi
menjadi dua yaitu hadits shohih dan Hasan.
B. Hadits
Mardud
Secara bahasa mardud berarti “yang ditolak” dan
“tidak diterima”. Adapun menurut istilah adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat
atau sebagian syarat hadits maqbul.3 Yang dimaksud tidak
terpenuhinya syarat tersebut adalah yang terjadi pada sanad dan matan. Oleh
karena itu, maka para ulama membagi hadits ini menjadi dua, yaitu hadits dho’if
dan maudhu’.
Selanjutnya pembagian hadits
ditinjau dari segi diterima atau tidaknya, dibagi menjadi tiga, yaitu : hadits
shohih, hasan dan dho’if. Sebenarnya pembagian ini belum dikenal pada masa abad
pertengahan ketiga hihriah, yaitu pada masa empat imam madzhab yang hanya
membagi menjadi dua, yaitu hadits shohih (maqbul) dan hadits yang ditolak
(mardud).
Ibnu Taymiyah mengemukakan,
bahwa pembagian hadits ini menjadi tiga, mulai dikenalkan oleh Abu ‘Isa
al-Tirmidzi. Adapun penjelasan tentang pembagian hadits menjadi tiga adalah
sebagai berikut :
1. Hadits
Shohih
a. Pengertian Hadits Shohih
Menurut para ulama hadits, definisi hadits shohih
adalah hadits yang sanadnya sambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat
dari orang yang sama, sampai berakhir kepada Rasulullah SAW. atau kepada
sahabat atau kepada tabi’in dan bukan hadits yang syadz (kontroversial).
Al-Suyuthi juga
memberikan definisi lebih ringkas hadits shohih adalah hadits yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syadz dan tidak
berillat.5
Dari pengertian di
atas, dapat diketahui bahwa hadits itu tersebut hadits shohih jika terpenuhi
syarat-syarat yang dijelaskan dalam pengertian definisi di atas.
Adapun contoh hadits
shohih adalah :
Artinya :
“Telah meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin Said, ia berkata telah
meriwayatkan kepada kami jarir dari Umarah bin Qa’ga dari Abu Zurah dari Abu
Hurairah, ia berkata “Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW. lalu
berkata, “Ya Rasulullah siapakah yang berhak mendapat perlakuan yang baik?
Rasulullah menjawab, “ibumu”, orang itu bertanya lagi, “kemudian siapa?”
Rasulullah menjawab, “ibumu”. Orang itu kembali bertanya, “kemudian siapa?”
Rosulullah menjawab “ibumu”. Orang itu bertanya lagi, “kemudian siapa?”
Rasulullah menjawab “Bapakmu”. (HR. Bukhori-Muslim).6
Pada hadits di atas, sanadnya
bersambung melalui orang yang adil dan tsabit. Dan para rawi dalam sanad di
atas seluruhnya tergolong orang yang siqot, serta tidak ada yang janggal.
Dengan demikian hadits ini termasuk hadits shohih.
b. Syarat-syarat
hadits shohih
adapun syarat-syarat
hadits shohih adalah :
1.
Sanadnya bersambung, yakni dari
awal sampai akhir.
2.
Perawinya adil, yakni tidak
berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus, jujur
3.
Perawinya dhabit, yakni
mempunyai daya ingatan dengan sempurna
4.
Tidak sydz (janggal)
5.
Tidak berillat, yakni tidak
cacat, penyakit.7
c. Macam-macam
hadits shohih
Hadits shohih menjadi
dua bagian yaitu :
1. Hadits sahih lizatihi, yaitu hadits shohih
yang memenuhi secara lengkap syarat-syarat hadits shohih.
Contoh
:
Artinya
:
“Bukhori
berkata, “Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah
SAW. bersabda “Apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut
serta orang ketiga. (HR. Bukhori)”.8
Semua
nama-nama tersebut mulai dari bukhori sampai dengan Abdullah adalah para rawi
yang adil, dhabit, dan bersambung, serta tidak cacat, sehingga disebut hadits
shohih lizatihi.
2. Hadits shohih Li Gairihi, yatitu hadits yang
keadaan rawi-rawinya kurang hafidh serta dhobit, tetapi mereka masih kerkenal
jujur, sehingga karenanya berderajat hasan, kemudian didapati dari jalan lain
yang serupa atau lebih kuat yang dapat menutupi kekurangannya tersebut.9
Contoh
:
Artinya
:
“Dari
Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah bersabda, “sekiranya tidak menyusahkan umat-Ku,
tentu aku menyuruh mereka bersiwak (menggosok gigi) setiap sholat (HR.
Bukhori dan Turmuzi).
d. Kehujjahan Hadits shohih
2. Hadits Hasan
a. Pengertian
Sedangkan
menurut Ibnu Hajar, hadits hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh orang yang
adil, yang kurang sedikit kedhobitannya, bersambung-sambung sanadnya sampai
kepada Nabi SAW. dan tidak mempunyai ‘illat serta syadz.10
Adapun
menurut jumhurul Muhadditsin adalah hadits yang dinukilkan oleh seorang adil,
tetapi tidak begitu kokoh ingatannya. Serta bersambung sanadnya dan tidak
terdapat illat dan kejanggalan pada matannya.11
Jadi
dari definisi-definisi di atas, dapat dikatakan bahwa hadits hasan hampir sama
dengan hadits shohih, yang membedakan hanya dalam soal ingatan perawi, di mana
daya hafalnya kurang sempurna.
b. Syarat-syarat hadits hasan
menurut
mayoritas ulama hadits, syarat-syarat hadits hasan adalah :
1.
Sanadnya bersambung
2.
Perawinya adil
3.
Perawinya dhobit, tetapi kurang
sempurna (di bawah perawi hadits shohih)
4.
Tidak ada kejanggalan
5.
Tidak ada illat.12
c. Macam-macam hadits hasan
1. Hadits hasan li dzatihi, adalah hadits yang
memenuhi segala syarat-syarat hadits hasan. Dengan demikian dapat dikatakan
juga bahwa hadits hasan juga hadits hasan li dzatihi.
Contoh
hadits yang berbunyi :
Hadits ini hasan li dzatihi.
Muhammad Ibn Amr bin Alqamah terkenal baik dan jujur, tapi kurang dhobit,
sehingga para ulama melemahkan hadits-hadits yang diriwayatkannya. Oleh karena
itu
Berstatus
li dzatih, tetapi ada riwayat lain dari jalur Al-A’raj dari Abu Hurairah, maka
naik menjadi hadits shohih li ghairihi.
2. Hadits hasan li ghairihi
Adalah
hadits yang di bawah derajat hasan, yang kemudian naik ke tingkat hadits hasan,
disebabkan karena ada hadits lain yang menguatkannya. Tetapi untuk hadits
dho’if yang rawinya dikenal pendusta atau fasiq, sekalipun dikuatkan hadits
lain, maka tidaklah hilang kedhoifannya.
Contoh
hadits hasan li ghoirihi
Artinya
:
“Rasulullah SAW. bersabda, “Merupakan hak
atas kaum muslimin, mandi pada hari jum’at.” (HR. Turmuzi).13
Hadits
ini diterima oleh Turmuzi melalui dua buah sanad. Dari sanad yang pertama
terpercaya kecuali Abu Yahya bin Ibrahim at Taini, ia lemah hafalnya. Sanad
yang kedua juga dipandang dho’if karena ada dua sanad dan saling menguatkan
makna masing-masing naik menjadi hadits hasan li ghoirihi.
d. Kehujjahan hadits hasan
13 Ahmad, Mudzakir, Ulumul Hadits, 116-117.
3. Hadits
Dho’if
a. Pengertian
Secara
bahasa kata dho’if artinya lemah. Adapun secara istilah para ulama
mengidentifikasikan bahwa hadits dho’if adalah hadits yang tidak menghimpun
sifat-sifat hadits shohih, juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.14
b. Sebab-sebab hadits dho’if tertolak
1). Sanad hadits, yang meliputi :
- Ada kecacatan pada para
rawinya, baik dalam keadilannya maupun kedhabitannya.
- Sanadnya tidak bersambung
2). Macam hadits, yang meliputi :
- Hadits Mauguf
- Hadits Maqthu’
c. Macam-macam hadits dho’if
Berdasarkan
sebab-sebab di atas, maka hadits dho’if dikelompokkan sebagai berikut :
1). Pada sanadnya
a). Dho’if karena tidak bersambung sanadnya
(1). Hadits Mungathi’
Yaitu
hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau disebutkan pada sanadnya
nama seseorang yang tidak dikenal. Pengertian di sini bukanlah rawi ditingkat
sahabat, tetapi minimal gugur seorang tabi’in.
14 Ibid., 147
Contoh :
(2). Hadits Mu’allaq
Yaitu
hadits yang rowinya digugurkan seorang atau lebih di awal sanadnya secara
berturut-turut. Contoh hadits riwayat Bukhari yang berbunyi
(3). Hadits Mursal
Yaitu
hadits yang gugur sanadnya selalu tabi’in. Maksudnya nama yang terakhir tidak
disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits dari
Rasul. Adapun mursal ada dua macam, yaitu :
-
Mursal al-jali, nama yang tidak
disebutkan dilakukan oleh tabi’in besar
-
Mursal al-khafi, yaitu
pengguguran nama sahabat yang dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil.
Contoh :
(4). Hadits mu’dhal
Yaitu
hadits gugur dua orang sanadnya atau lebih, secara berturut-turut. Perbedaanya
antara hadits mu’adal dengan hadits mungathi’, kalau hadits mu’dal, gugurnya
dua rowi tersebut secara berturut-turut, dan dimanapun saja. Adapun hadits
mungathi’, gugurnya dua rowi itu terjadi secara terpisah atau tidak
berturut-turut, dan tidak pada tingkat pertama.
Sebagai
contoh, Imam Malik berkata adalam kitab Al-Muwaththo’, “Telah menyampaikan
kepadaku Abu Hurairoh bahwa Rasulullah SAW. bersabda”
Artinya
: “Bagai budak itu ada hak makanan dan
pakaian”
Hadits
ini disebut mu’dhal, sebab tidak mungkin Imam Malik menerima hadits dari Abu
Hurairoh.
(5). Hadits Mudallas
Yaitu
hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits tersebut
tiada bernoda. Dalam hadits ini rowi menggugurkan rowi yang lain dengan maksud
agar aib dan kelemahan suatu hadits dapat ditutupi. Orang yang melakukan
disebut mudallis, perbuatannya disebut tadlis, dan haditsnya disebut hadits
mudallas.15
b) Dha’if karena tiadanya syarat adil
(1). Hadits al-maudhu’
Hadits
maudhu’ adalah hadits yang dibuat-buat. Para
ulama memberikan batasan, hadits maudhu’ adalah hadits yang bukan dari hadits
Rasulullah SAW. Tetapi disandarkan oleh seseorang secara dusta dan sengaja
kepada Rasulullah.
15 Suparta, Ilmu Hadis, 158.
Hadits ini juga disebut hadits palsu, juga merupakan seburuk-buruk hadits dhaif.
Hadits ini juga disebut hadits palsu, juga merupakan seburuk-buruk hadits dhaif.
Contoh
:
Artinya
: “Orang yang dapat dipercaya itu hanya
tiga, yaitu aku (Muhammad), Jibril dan Muawiyah.”
Jelas
sekali bahwa ini adalah buatan orang-orang yang fanatik terhadap muawiyah.
(2). Hadits matruk
Hadits
matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh pernah berdusta
(baik itu berkenaan dengan hadits atau masalah yang lain) atau tertuduh pernah
berbuat maksiat, atau lalai, atau banyak ragu.
(3).
Hadits mungkar
Hadits
mungkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang lemah yang menyalahi
(berlawanan) dengan rowi yang lain yang lebih kuat (kepercayaan).16
c). Dhaif karena tiadanya dhabit
(1).
Hadits mudroj
Yaitu
hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal itu bukan dari bagian
hadits, atau yang dimasuki sisipan. Sisipan itu bisa terjadi pada sanad, atau
matan dan atau keduanya.
(2). Hadits maglub
Yaitu hadits yang
terjadi pemutarbalikan pada matannya atau pada nama rowi dalam sanadnya atau
juga penukaran suatu sanad untuk matan yang lain. Tertukarnya hadits ini, bisa
terjadi pada matannya dan juga bisa terjadi pada sanadnya. Dan hadits ini tidak
dibenarkan dalam periwayatan, karena akan mengakibatkan perubahan maksud juga
makna hadits tersebut.
(3). Hadits mudhothorib
Yaitu
hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda, padahal diriwayatkan oleh
satu rowi, dua atau lebih, atau juga dari dua rowi atau lebih yang berdekatan
(dan tidak bisa ditarjih)
(4). Hadits mushahhaf dan muharraf
Hadits
mushahhaf adalah terjadinya perubahan redaksi hadits dan maknanya. Sedangkan
muharraf adalah hadits yang perbedaannya terjadi karena disebabkan oleh
perubahan syakal kata dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
Perbedaan
kedua hadits ini bisa terjadi di matan atau di sanadnya.
d). Dhaif karena kejanggalan dan kecacatan
(1). Hadits syadz
Yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang magbul, tetapi bertentangan (matannya)
kepada periwayatan dari orang lain yang kualitasnya lebih utama.
(2). Hadits mu’allal
Yaitu
hadits yang diketahui illatnya setelah dilakukan penelitian serta penyelidikan,
walupun pada lahirnya nampak selamat dari kecacatan.17
17 Suparta, Ilmu Hadis, 168-170.
2). Dhoif dari segi matan
Pada
ahli hadits mengelompokkan hadits dho’if dari segi persandarannya ini menjadi
dua, yaitu :
a). Hadits mauguf
Hadits
mauguf adalah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik itu berupa
perkataan atau perbuatan juga tagrirnya, baik periwayatannya itu bersambung
atau tidak. Atau dengan pengertian lain, hadits yang disandarkan kepada sahabat.
b). Hadits maqthu’
hadits
maqthu’ adalah hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya,
baik perkataan atau perbuatannya. Dengan kata lain, yaitu perkataan atau
perbuatan tabi’in.18
d. Penerimaan dan pengamalan hadits dho’if
Berdasarkan
kesepakatan para ulama hadits, tidak diperbolehkan mengamalkan hadits dhoif ini
baik di dalam penetapan hukum-hukum maupun aqidah serta fadhoil al-‘amal.
Adapun Imam Bukhari, Imam Muslum serta Abu Bakr ibn Al-‘Araby berpendapat
menolak secara muthlak hadits dhoif ini baik dalam penetapan hukum, aqidah
serta fadhoil al-‘amal.
Tetapi
menurut Imam Abu Hanifah, Al-Nasa’I serta Abu Daud membolehkan beramal dengan
hadits dhoif ini secara mutlak. Alasan mereka hadits dhoif ini lebih disukai
dibandingkan mendasarkan pendapatnya kepada akal pikiran atau juga qiyas.
Sedangkan Abd Al-Rahman ibn Almandy dan Abdullah ibn Al-Mubarok serta Ahmad ibn
Hambal menerima pengamalan hadits dhoif sebatas fardhoil al-‘amal.
18 Ibid, 171.
Sementara Al-Suyuthi
berpendapat memperbolehkan beramal dengan hadits dhoif dalam masalah hukum
dengan maskdu ikhtiyah.19
Dari
perbedaan pengamalan ini dapat kita ambil hikmah, apakah dapat menjadi
bertambah amal hasanah atau tidak, maka itu semua tergantung kondisi serta
situasi yang mengarah kepada kemashlahatan.
19 Ibid.
BAB III
PENUTUP
(KESIMPULAN
Dari uraian di
atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hadits ditinjau dari segi kualitasnya
menjadi dua bagian, yaitu hadits magbul (yang diterima) dan hadits mardud (yang
ditolak). Kemudian selanjutnya dilihat dari diterima dan ditolaknya hadits
tersebut, maka dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1.
Hadits Sahih
2.
Hadits Hasan
3.
Hadits Dho’if
Dari ketiga macam
hadits tersebut, yang paling tinggi tingkatannya adalah hadits sahih dan wajib
mengamalkannya. Kemudian disusul hadits hasan, dimana pengamalannya wajib
meskipun tingkat kewajibannya di bawah hadits sahih. Sedangkan yang terakhir
adalah hadits dho’if, dimana pengamalannya tidak diperbolehkan menurut
kesepakatan para ulama hadits, meskipun ada beberapa ulama yang berbeda
pendapat tentang memperbolehkan pengamalannya.
DAFTAR
RUJUKAN
Suparta,
Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2002
as-Shalih,
Subdi, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, Jakarta : Pustaka Firdaus,
1995
Ahmad,
Muhammad, M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung : Pustaka Setia,
2000 102
Sya’roni, Usman, Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadits dan Kaum Sufi, Jakarta : Pustaka Firdaus,
2002
Rohman, Fatchur, Ikhtisar Mushtholahul Hadits, Bandung :
Alma’arif, 1991
Anwar, Moh., Ilmmu Mushtholahah Hadits, Surabaya :
Al Ikhlas, 1981
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, Jakarta : Bulan Bintang,
1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar