PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI
GURU DI SEKOLAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Individu
Dosen
Pengampu
Prof.
Dr. ACHMAD FATONI, M.Ag
Dr.
BINTI MAUNAH, M.Ag
Oleh :
PROGRAM
STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM
PASCA SARJANA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
2010
BAB
I
PENDAHULUAN
Sekolah belum menjadi
sarana pendidikan yang menyenangkan dan memberikan pengetahuan yang bermakna
bagi peserta didik. Saat ini, sekolah terlalu banyak membebani siswa dengan
pengetahuan yang banyak, namun tidak bermakna. Tidak heran kalau pengetahuan
yang diberikan itu tidak bisa dijadikan topangan keterampilan yang berkembang
secara dinamis. Akibatnya, jangankan untuk bersaing, peserta didik kita bahkan
tidak mampu untuk membantu dirinya agar mandiri.
Pernyataan diatas
terkait dengan pemahaman siswa terhadap materi ajar. Walaupun seringkali kita
mengetahui banyak siswa yang mungkin mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik
terhadap materi yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka seringkali
tidak memahami/mengerti secara mendalam pengetahuan yang bersifat hafalan
tersebut. Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana
mereka biasa diajarkan, yaitu menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode
ceramah. Perlu disadari bahwa program pembelajaran bukanlah sekedar rentetan
topik/pokok bahasan, tetapi sesuatu yang harus dipahami oleh siswa dan dapat
dipergunakan untuk kehidupannya.[1]
Rasionalisasi dari
pernyataan di atas ditunjukkan oleh hasil penelitian yang menjelaskan bahwa
konsep terdahulu tentang sesuatu yang dimiliki siswa merupakan hal yang penting
dalam proses pembelajaran. Siswa pada semua usia memiliki konsep tentang
berbagai fenomena yang dibawanya ke dalam kelas. Konsep awal ini dapat
bersumber antara lain dari latar belakang kebudayananya, keluarga dan media
maupun hal-hal lain di mana siswa secara langsung mendengar, melihat, mengalami
dan sekaligus menggunakannya. Konsep ini terbukti sangat membantu dan bernilai
dalam konteks kehidupan keseharian siswa. Sementara itu, konsep baru yang
dipelajari siswa di dalam kelas akan lebih mudah diterima siswa jika dikaitkan
dengan skema pengetahuan yang telah dimilikinya itu, sehingga terjadi proses
asimilasi dan asosiasi. Jika konsep baru tersebut menambah atau memperkaya
skema pemikiran yang sebelumnya sudah ada.
Persoalan sekarang
adalah bagaimana menemukan pendekatan yang terbaik untuk menyampaikan berbagai
konsep yang diajarkan di dalam mata pelajaran tertentu, sehingga semua siswa
dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut. Bagaimana setiap
individual mata pelajaran dipahami sebagai bagian yang saling berhubungan dan
membentuk satu pemahaman yang utuh. Bagaimana seorang guru dapat berkomunikasi
secara efektif dengan siswanya yang selalu bertanya-tanya tentang alasan dari
sesuatu, arti dari sesuatu, dan hubungan dari apa yang mereka pelahari.
Bagaimana guru membuka wawasan berpikir yang beragam dari seluruh siswa,
sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan acara mengaitkannya
kehidupan nyata, sehingga dapat membuka berbagai pintu kesempatan selama
hidupnya. Hal ini merupakan tantangan yang dihadapi oleh guru setiap hari dan
tantangan bagi pengembangan kurikulum.
Pokok bahasan dalam
makalah yang berjudul “Problematika Yang Dihadapi Guru di Sekolah” adalah
sebagai berikut :
·
Apakah hakekat Guru itu ?
·
Apakah Problematika yang
dihadapi Guru di Sekolah ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Guru
Dalam
pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan
kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang
melaksnakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga
pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, di surau/mushalla, di rumah dan
sebagainya.[2]
Guru
memang menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat. Kewibawaanlah yang
menyebabkan guru dihormati, sehingga masyarakat tidak meragukan figur guru.
Masyarakat yakin bahwa gurulah yang dapat mendidik anak didik mereka agar
menjadi orang yang berkepribadian mulia.
Dengan
kepercayaan yang diberikan masyarakat, maka di pundak guru diberikan tugas dan
tanggung jawab yang berat. Mengembang tugas memang berat. Tapi lebih berat lagi
mengembang tanggung jawab. Sebab tanggung jawab guru tidak hanya sebatas
dinding sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Pembinaan yang harus guru berikan
pun tidak hanya secara kelompok (klasikal), tetapi juga secara individual. Hal
ini mau tidak mau menuntut guru agar selalu memperhatikan sikap, tingkah laku,
dan perbuatan anak didiknya, tidak hanya di lingkungan sekolah tetapi di luar
sekolah sekalipun. Karena itu, tepatlah bahwa guru adalah semua orang yang
berwenang dan bertanggung jawab terhadap pendidikan murid-murid, baik secara
individual ataupun klasikal, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa guru adalah semua orang yang berwenang dan
bertanggung jawab untuk membimbing dan membina anak didik, baik secara
individual maupun klasikal, di sekolah maupun di luar sekolah.
B. Problematika yang dihadapi Guru di Sekolah
Menurut Chandler dan Petty, yang
dikutip oleh M. Ngalim Purwanto, bahwa masalah-masalah yang dihadapi guru pada
umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :[3]
o
Kebutuhan akan perumahan/tempat
tinggal yang sesuai atau wajar bagi seorang guru;
o
Memperolah perkenalan dengan
personel sekolah (guru-guru dan pegawai)
o
Memperoleh pengertian tentang
system dan tujuan sekolah
o
Mengerti tentang
peraturan-peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah itu
o
Mengerti dan dapat mengenal
masyarakat serta lingkungan sekitar
o
Mengenal organisasi-organisasi
profesional dan etika jabatan, dan
o
Masalah-masalah penting lainnya
yang berhubungan langsung dengan tugas pekerjaannya sebagai guru di sekolah
itu.
Dalam makalah ini penulis fokus pada salah
satu permasalahan yang disampaikan oleh M. Ngalim Purwanto di atas yaitu
masalah yang berhubungan langsung dengan tugas pekerjaan sebagai guru di
sekolah yaitu masalah Pengelolaan Kelas.
Masalah
pokok yang dihadapi guru, baik pemula maupun yang sudah profesional adalah
pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas merupakan masalah yang kompleks. Guru
menggunakannya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas untuk
mencapai pengajaran secara efisien dan memungkinkan anak didik dapat belajar.
Dengan demikian pengelolaan kelas yang efektif adalah syarat bagi pengajaran
yang efektif. Tugas utama dan yang paling sulit dilakukan guru adalah
pengelolaan kelas, lebih-lebih tidak ada satu pun pendekatan yang dikatakan paling
baik.
Pengelolaan
kelas adalah keterampilan guru menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang
optimal dan mengembalikannya bila terjadi gangguan dalam proses interaksi
edukatif. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan untuk menciptakan dan
mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses interaksi edukatif.
Yang termasuk ke dalam hal ini adalah misalnya penghentian tingkah laku anak
didik yang menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran bagi ketepatan
waktu penyelesaian tugas anak didik, atau penetapan norma kelompok yang
produktif.
Suatu
kondisi belajar yang optimal dapat tercapai jika guru mampu mengatur anak didik
dan sarana pengajaran serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan
untuk mencapai tujuan pengajaran. Pengelolaan kelas yang efektif merupakan
prasyarat mutlak bagi terjadinya proses interaksi edukatif yang efektif.
Adapun
tujuan keterampilan mengelola kelas adalah sebagai berikut :
Ø Mendorong anak didik mengembangkan tanggung jawab individu terhadap
tingkah laku dan kebutuhan untuk mengontrol diri sendiri.
Ø Membantu anak didik mengetahui tingkah laku yang sesuai dengan tata
tertib kelas dan memahami bahwa teguran guru merupakan suatu peringatan dan
bukan kemarahan.
Ø Membangkitkan rasa tanggung jawab untuk melibatkan diri dalam tugas
dan pada kegiatan yang diadakan.
Untuk Guru :
Ø Mengembangkan pemahaman dalam penyajian pelajaran dengan pembukaan
yang lancar dan kecepatan yang tepat.
Ø Menyadari kebutuhan anak didik dan memiliki kemampuan dalam memberi petunjuk
secara jelas kepada anak didik.
Ø Mempelajari bagaimana merespon secara efektif terhadap tingkah laku
anak didik yang mengganggu.
Ø Memiliki strategi remedial yang lebih komprehensif yang dapat
dipergunakan dalam hubungannya dengan masalah tingkah laku anak didik yang
muncul di dalam kelas.
Mutu
pendidikan adalah persoalan mikro di sekolah, bahkan perorangan. Mutu hanya
terwujud jika proses pendidikan di sekolah benar-benar menjadikan siswa belajar
dan belajar sebanyak mungkin. Mutu pendidikan harus dilihat dari meningkatnya
kemampuan belajar siswa secara mandiri. Pengetahuan apapun yang mereka kuasai
adalah hasil belajar yang mereka lakukan sendiri.[5]
Pendekatan
Pembelajaran adalah pelaksanaan pendidikan yang bersifat mikro di sekolah.
Pendekatan pembelajaran yang berbasis kepada kompetensi siswa terwujud jika
proses pendidikan di sekolah benar-benar menjadikan siswa belajar dan belajar
sebanyak mungkin. Keberhasilan suatu pembelajaran dapat dilihat dan
meningkatnya kemampuan belajar siswa yang secara mandiri. Pengetahuan apapun
yang mereka kuasai adalah hasil belajar yang mereka lakukan sendiri.
Oleh
karena itu, ada beberapa hal yang perlu dihidupkan dalam proses belajar
mengajar, yaitu :[6]
Pertama, perkembangan anak didik. Fungsi
pendidikan pertama-tama adalah membantu peserta didik untuk berkembang secara
baik. Ini berarti perkembangan anak harus menjadi fokus pelaksanaan pendidikan.
Salah satu nilai mendasar dalam menumbuhkan perkembangan diri anak adalah rasa
kepercayaan diri. Karena itu, dialog dan pengakuan diri perlu mendapat
perhatian. Hanya dengan nilai-nilai inilah pemekaran diri anak akan terwujud.
Anak diberi kesempatan untuk membedah dirinya sendiri. Dalam kerangka ini
fungsi guru adalah membantu anak untuk mengetahui sesuatu yang ada dalam
dirinya itu. Jadi guru menjadi bidan yang harus aktif untuk menolong anak, akan
tetapi proses kelahirannya harus dilakukan oleh anak didik sendiri.[7]
Kedua, kemandirian anak. Terkait dengan
hal di atas yang perlu dihidupkan dalam proses belajar mengajar adalah otonomi,
karena aktivitas mandiri ini merupakan jaminan satu-satunya untuk membentuk
kepribadian yang sebenarnya. Artinya, upaya guru melatih peserta didik untuk
mempunyai pendirian terhadap sesuatu hal perlu mendapatkan perhatian. Untuk
itu, kemampuan anak untuk menentukan diri, pendapat maupun penilaian atas diri
dan relitas sosial harus dihargai.
Ketiga, vitalisasi model hubungan demokratis. Konsekuensi dari penghidupan
sikap otonomi anak adalah pembaharuan relasi murid dengan guru dan sebaliknya.
Artinya, yang diberlakukan dalam proses belajar mengajar bukan sikap otoriter,
yang menempatkan murid sebagai lawan dari guru, melainkan sikap partisipatif
dan kooperatif. Dalam sikap partisipatif dan kooperatif itu anak justru diakui
sebagai pelaku, bukan sebagai objek. Dengan pengakuan itu pula bagi peserta
didik peristiwa sekolah menjadi sebuah peristiwa yang menghidupkan perjumpaan
antar pribadi yang saling mengasihi dan kemitraan yang saling memekarkan
persaudaraan dan menggembirakan.[8]
Keempat, vitalisasi jiwa eksploratif. Perlu diakui bahwa peserta didik kaya
dengan daya cipta, rasa dan karsa. Dan potensi-potensi ini harus diakui dan
ditumbuh-kembangkan dalam proses pembelajaran. Justru disini fungsi pendidikan
amat kelihatan. Dalam kerangka ini, jiwa eksploratif sangatlah penting mendapat
ruang gerak. Daya kritis anak, semangat mencari, menyelidiki dan meneliti perlu
ditumbuhkan. Hal inilah sebagai basis bagi lahirnya kreativitas.[9]
Kelima, kebebasan. Untuk mewujudkan semua hal di atas iklim kebebasan bagi
anak sangatlah mutlak. Ada
dua hal mengapa kebebasan diperlukan, (1) kebebasan itu sendiri merupakan hak
azasi manusia yang mendasar. Artinya, hak untuk berbicara, berkreasi merupakan
bagian dari hak azasi manusia, (2) kebebasan merupakan syarat untuk
perkembangan. Anak-anak yang selalu dikekang dengan sikap otoriter tidak
mungkin akan bisa berkembang secara kritis, apalagi mampu berkreasi, selain
memiliki ketergantungan yang mutlak.
Kebebasan yang dimaksudkan disini bukan berarti kebebasan yang sewenang-wenang,
melainkan kebebasan yang menjunjung tinggi disiplin, dengan kata lain kebebasan
harus disertai dengan tanggung jawab. Peserta didik dilatih untuk mampu
menghayati keterikatan yang memuaskan dan menggembirakan, karena memberi
pengakuan atas kemampuannya untuk mengatasi hal-hal yang sulit dan berat.
Keenam, menghidupkan pengalaman anak.
Tak bisa disangkali bahwa salah satu esensi pendidikan adalah membuat anak agar
tidak terasing dari pengalamannya. Ini berarti materi pelajaran yang diberikan
harus terkait dengan dunia praktis serta lingkungan yang disaksikan oleh anak
di sekitarnya. Dengan kata lain, pengalaman anak harus mendapat perhatian.
Mengapa? Karena anak didik akan lebih tertarik dan mengikutkan hatinya dalam
kegiatan belajar kalau apa yang diterimanya terkait dengan dunia nyata yang
dialaminya. Ketika sesuatu dibicarakan di luar realitas yang dialami oleh si
anak, maka sangat sulit bagi anak untuk menangkapnya. Ini mempengaruhi
keseriusan anak dalam menerima pelajaran (flow).[10]
Ketujuh, Keseimbangan pengembangan aspek personal dan sosial. Dua nilai ini
merupakan nilai mendasar kemanusiaan peserta didik. Artinya dimensi
individualitas yang terungkap dalam pengembangan kemampuan anak untuk menemukan
hal-hal baru melalui daya eksploratif dan kreatif serta inovatifnya harus
diimbangi dengan sikap kebersamaan dan penghargaan terhadap sesamannya. Jadi
selain mengandalkan kemampuan dirinya, si anak juga harus mampu bekerja sama
dengan satu atau beberapa teman dalam proses dialiktika dan dialog. Sehingga
menumbuh-kembangkan semangat kepekaan anak terhadap sesamanya. Karena
nilai-nilai kebersamaan dalam proses belajar perlu ditanamkan. Jika pendidikan
hanya menekankan dimensi individualitas peserta didik akan berkembang menjadi
seorang yang cenderung egoistis.
Keseimbangan individualitas dan sosial akan melatih peserta didik
untuk mampu bekerjasama dalam masyarakat. Dan anak akan terlatih untuk
membiasakan diri hidup dalam kompetisi yang sehat dengan semangat solider dan
saling menghargai.[11]
Kedelapan, Kecerdasan emosional dan
Spiritual. Membentuk anak didik menjadi manusia berkualitas baik secara moral,
personal maupun sosial tidak cukup hanya dengan mengembangkan dimensi
kognitifnya (IQ), melainkan harus juga disertai dengan pengembangan efektif dan
emosionalnya. Dengan kata lain, kecerdasan emosional anak perlu
ditumbuhkembangkan dalam pembelajaran. Pengembangan emosi ini justru sangat
penting karena kecerdasan emosi memungkinkan peserta didik mampu menumbuhkan
sikap empati dan kepedulian, kejujuran, tenggang rasa, pengertian dan
integritas diri serta keterampilan sosial yang merupakan landasan bagi
tumbuhnya kesadaran moral anak.[12]
Disamping pembelajaran dengan mengaktifkan kecerdasan baik yang
bersifat kognitif dan emosional, aspek yang lain yang perlu ditanamkan dalam
pembelajaran adalah kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan jiwa, kecerdasan yang dapat menyembuh dan membangun diri secara
utuh, karena ia dibagian diri yang dalam.[13]
Bagi
kita sebagai muslim, SQ ini adalah identik dengan hati nurani yaitu fitrah,
Allah menciptakan manusia berdasarkan fitrah yaitu nilai ketauhidan yaitu agama
yang lurus (Lihat Q.S, Ar Rum : 30). Dasar inilah yang mewajibkan kita
menciptakan suatu bentuk pendidikan yang berbasis kepada ajaran Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Guru adalah semua
orang yang berwenang dan bertanggung jawab untuk membimbing dan membina anak
didik, baik secara individual maupun klasikal, di sekolah maupun di luar
sekolah.
Pengelolaan kelas
adalah keterampilan guru menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang
optimal dan mengembalikannya bila terjadi gangguan dalam proses interaksi
edukatif. Sehingga kegiatan-kegiatan tersebut dapat menciptakan dan
mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses interaksi edukatif,
misalnya penghentian tingkah laku anak didik yang menyelewengkan perhatian
kelas, pemberian ganjaran bagi ketepatan waktu penyelesaian tugas anak didik,
atau penetapan norma kelompok yang produktif.
Mutu pendidikan
adalah persoalan mikro di sekolah, bahkan perorangan. Hal ini bisa terwujud
jika proses pendidikan di sekolah benar-benar menjadikan siswa belajar dan
belajar sebanyak mungkin serta harus dilihat dan meningkatnya kemampuan belajar
siswa secara mandiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Goleman, D. 1995, Emotional Intelligence : Why is Can Matter
More than IQ. New York
: Bantam Books.
Idris, Jamaludin, Kompilasi Pemikiran Pendidikan (Yogyakarta : Taufiqiyah Sa’adah-Suluh Press, 2005)
Johnson W.D. & Johnson, T.R.
1991, Learning Together and Alone, 13rd
Ed) Boston :
Allyn and Bacon
Johnson W.D. & Johnson, T.R.
1991. Circles of Learning : Cooperation
in the Classroom. Edina ,
Monnesota : Interaction Book company
Purwanto, M. Ngalim, Administrasi
dan Supervisi Pendidikan, (Bandung
: Remaja Rosdakarya, 2005)
Novak, J.D. & Growin, D.B. 1984.
Learning How to Learn. Melbourne
: Cambridge
University Press
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan
Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis, (Jakarta : Renika Cipata,
2005), hal. 32
Zohar, D & Marshall, I. 2000. SQ : Spiritual
Inteligence-The Ultimate Intelligence, Great
Britain : Bloomsbury
[1] Jamaluddin Idris, Kompilasi
Pemikiran Pendidikan (Yogyakarta :
Taufiqiyah Sa’adah-Suluh Press, 2005), hal. 73-75
[2] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi
Edukatif Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis, Jakarta : (Renika Cipata, 2005), hal. 32
[3] M. Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2005), hal 151-152. Lihat juga : Chandler dan Petty, Personal Managament in School Adminstration, World Book Company,
New York, Inc, 1963, hal 159-166
[4] Syaiful Bahri Djamarah : 2005, 144
[5] Novak, J.D. & Growin, D.B. 1984. Learning How to Learn. Melbourne : Cambridge University
Press, hal. 11
[6] Jamaluddin Idris, Kompilasi
Pemikiran Pendidikan, (Yogyakarta :
Taufiqiyah Sa’adah-Suluh Press, 2005), hal. 11-16
[7] Johnson W.D. & Johnson, T.R. 1991, Learning Together and Alone, 13rd Ed) Boston : Allyn and Bacon, hal. 12
[8] Arends, LR. 1997. Classroom Instruction and Management, New York : The
McGrwa-Hill companies, Inc., hal 13
[9] Johnson W.D. & Johnson, T.R. 1990. Circles of Learning : Cooperation in the Classroom. Edina , Monnesota : Interaction Book company.
hal. 13
[10] Goleman, D. 1995, Emotional
Intelligence : Why is Can Matter More than IQ. New York : Bantam Books., hal.14
[11] Arends, I.R. 1997. Classroom Instruction and Management, New York : The
McGrwa-Hill companies, Inc., hal 15
[12] Goleman, D. 1995, Emotional
Intelligence : Why is Can Matter More than IQ. New York : Bantam Books., hal.15
[13] Zohar, D & Marshall, I. 2000.
SQ : Spiritual Inteligence-The Ultimate
Intelligence, Great Britain
: Bloomsbury , hal. 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar