STRUKTUR ILMU FIQIH
(Dari Sisi Ontologi, Epistimologi, Aksiologi)
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
" Filsafat Ilmu "
Dosen Pengampu :
Dr. MAFTUKHIN, M.Ag
Disusun Oleh :
NUR MUSLIMIN
NIM : 284109047
PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUNGAGUNG
2009/2010
BAB I
PENDAHULUAN
Kajian fiqih merupakan produk ulama dan hasil pemahaman terhadap wahyu.
Meskipun manusia memegang peranan penting dalam memahami wahyu, tetapi hal yang
tidak boleh diabaikan adalah ia tidak boleh keluar dari konteks wahyu[1]
Kedua tahapan tersebut belum tentu menjamin adanya titik temu antara
realita kehidupan idialitas syariah secara pasti karena dimungkinkan adanya
kekurangan atau kesalahan pada salah satunya atau keduanya. Oleh karena itu
membutuhkan kerja keras akal manusia berupa ijtihad yang akan memungkinkan
syariah atau wahyu dapat terlaksana dengan benar sehingga ada kesesuaian antara
perilaku sehari-hari dengan Tuhan.
Fiqih telah memberikan pengaruh yang sangat mendalam dalam kehidupan
umat Islam. Fiqig sebagai formulasi pemahaman terhadap syariah telah
menjalankan dua fungsi. Pertama, fiqih berfungsi membangun perilaku setiap
individu muslim berdasarkan aqidah, syariah dan akhlak. Kedua ia merealisasikan
sebuah tatanan
1
kehidupan sosial masyarakat yang sejalan
dengan nilai syariah, seperti keadilan, persamaan dan kemitraan.[3]
Dalam pembahasan ini penulis mencoba untuk mengungkapkan ilmu fiqh
dilihat dari perspektif ontology, epistimologi dan aksiologi yang ketiganya
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami tentang
syariat Islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN FIQH DAN SYARIAH
1. Pengertian Fiqh
Fiqh menurut bahasa
artinya tahu dan faham terhadap sesuatu. Sedangkan menurut istilah adalah :
a.
Menurut DR Muhammad El Ghandur
adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum Allah atas perbuatan orang-orang
muallaf, hukum wajib atau haram dan sebagainya, tujuan supaya dapat dibedakan
antara wajib, haram atau boleh dikerjakan.
b.
Menurut Ibnu Khaldun dalam
kitab "Muqadimah", fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Allah
di dalam perbuatan orang mukallaf seperti haram, wajib, sunnah, makruh dan
mubah, hukum itu diambil dari Al Qur'an dan sunnah serta dari sumber-sumber
dalil lain yang ditetapkan oleh Allah.
c.
Sedangkan menurut Masfuk Zuhdi,
fiqh adalah ilmu yang merupakan bagian dari ilmu syari'ah[4]
Dari pengertian yang dikemukakan para
ahli di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa fiqh adalah ilmu pengetahuan
tentang hukum-hukum Alloh dalam perbuatan mukalaf yang diambil dari Al Qur'an
dan As-Sunnah, seperti wajib, sunnah, makruh dan mubah yang merupakan bagian dari
yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
2. Pengertian Syari'ah
Syari'ah menurut
bahasa adalah sumber air yang mengalir, hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk
manusia, peraturan, jalan yang lurus
3
Sedangkan menurut istilah adalah,
a.
Menurut Muhammad Aki
at-Tahanuwi, syari'ah ialah hukum-hukum Alloh yang ditetapkan untuk hambaNya
yang disampaikan melalui para nabi/RasulNya baik hukum yang berhubungan dengan
amaliyah yang dimasukkan dalam ilmu fiqh maupun hukum yang berhubungan dengan
aqidah, hukum ini dimasukkan dalam ilmu kalam.
b.
Menurut Acmad El Ghandur adalah
hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Alloh SWT melalui rasul- rasulNya yang
mulia untuk umat manusia aagar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang dan
mendapatkan petunjuk ke arah yang lurus.
c.
Menurut Manna, Khalil al-Qothan
adalah apa-apa yang ditetapkan oleh Allah bagi para hambaNya baik mengenai
keyakinan, ibadah, akhlak, muamalat ataupun tatanan kehidupan lainnya. Dengan
segala cabangnya yang bermacam-macam, guna merealisasikan kebahagiaan baik
kebahagiaan di dunia maupun di akherat.[5]
Dari beberapa pengertian yang
dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat
diambil
sebuah kesimpulan bahwa syari'at adalah semua peraturan-peraturan yang diturunkan
oleh Allah kepada semua manusia yang merupakan wahyu dari Allah untuk mengatur
perilaku manusia.
3. Perbedaan
Syari'ah dengan Fiqh
Dari uraian tentang
syari'ah dan fiqh di atas dapat diambil sebuah pengertian bahwa terdapat
perbedaan antara syari'ah dan fiqh, di antaranya,
a.
Fiqh merupakan bagian dari
syari'ah, jadi syari'ah itu lebih luas daripada figh.
b.
Syari'ah merupakan wahyu dari
Alloh yang beralaku sepanjang zaman, sedangkan fiqh dimungkinkan ada perubahan
dan perbedaan pendapat dari para ulama', sebab fiqh adalah produk Ulama
walaupun semua didasarkan pada Al Qur'an dan sunnah.
4
B. RUANG LINGKUP FIQH
Bahasan ilmu fiqh antara lain:
1.
Bagian ibadah yaitu suatu
bagian yang membicarakan hukum-hukum yang dipakai untuk mendekatkan diri kepada
Allah dan untuk mengagungkan kebesaranNya seperti sholat, zakat, puasa dan
haji.
2.
Bagian Ahwal Syahsiah yaitu
bagian yang membicarakan hukum-hukum yang berhubungan dengan pembentukan dan
pengaturan keluarga dan segala akibat-akibatnya, seperti perkawinan, maskawin,
nafkah, perceraian, talak, rujuk, iddah, hadanah, roqo'ah, warisan, wasiat dan
lain-lain. Kebanyakan oleh para mujtahidin, bagian ini dimasukkan dalam bagian
mu'amalah.
3.
Bagian muamalat, suatu bagian
yang membicarakan hukum-hukum yang mengatur harta benda hak milik, aqad dan
kerjasama sesama manusia, seperti jual beli, ijarah, rohan, sirkah dan
lain-lain.
4.
Bagian Hudud dan ta'zir atau
hukum pidana yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang membicarakan
hukum-hukum yang berhubungan dengan kejahatan, pelanggaran dan akibat-akibat
hukumnya.
5.
Bagian marofa'at aatau hukum
acara, yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang mengatur cara mengajukan
perkara, perselisihan, penuntutan dan cara-cara menetapkan suatu tuntutan yang
daapat diterima dan cara-cara yang dapat melindungi hak-hak seseorang.
6.
Bagian siyarul mughozi, yaitu
bagian yang membicarakan hukum-hukum yang mengatur peperangan anatar bangsa,
mengatur perdamaian, piagam perjanjian, dokumen-dokumen dan hubungan-hubungan
umat Islam dengan bukan Islam. Dalam pembahasan ini penulis tiadak membedakan
syari'ah dengan fiqh.
C. FIQH DALAM PERSPEKTIF EPISTIMOLOGI
Maksud topik ini
adalah bagaimana caranya mengetahui pesan-pesan syar'i yang dituntunkan oleh
Tuhan sebagai pembuat hukum dan rasul sebagai pengemban untuk menyampaikan
hukum-hukum itu kepada seluruh umat manusia.
Berhubung bahasa pengantar kedua teks itu
adalah berbahasa Arab, maka siapa saja yang ingin memahami kedua teks tersebut
haruslah menguasai bahasa itu dengan mendetail. Tanpa menguasai bahasa Arab
mustahil dapat melakukan
5
istimbat hukum yang terdapat dalam teks.[6]
Walaupun menguasai bahasa Arab belum merupakan jaminan dapat melakukan istimbat
secara sempurna. Bahasa hanya merupakan satu faktor di antara sekian banyak
faktor. Contohnya di dalam Al Qur'an ada seruan untuk melakukan sholat, dalam
pelaksanaannya harus dikaitkan dengan
ayat-ayat yang lain seperti ayat tentang wudlu sebagai prasyarat untuk
melakukan sholat, juga harus dikaitkan dengan hadits-hadits nabi yang
berhubungan dengan sholat.
Permasalahannya tidak cukup sampai di situ
bagaimana bacaan al Fatihah bagi makmum, apakah membaca bersama imam pada saat
imam membaca dengan jahr, atau membaca fatihah setelah imam membaca al Fatihah
sebelum imam membaca surat, ataukah pada saat imam membaca surat setelah al
Fatihah atau membaca dalam hati bersamaan dengan imam membaca al Fatihah.
Praktek umum di masyarakat ternyata tidak sama.
Kasus tersebut terjadi dalam sholat yang
merupakan ibadah mahdhoh yang tidak boleh ditambah atau dikurangi dan kita
tidak boleh ikut mengaturnya. Para ulama
berbeda faham dan
masing-masing berhujjah. Dalam bidang mu'amalat pendapat para mujtahid semakin
kompleks yang masing-masing juga memiliki pandangan yang berbeda-beda. Belum
lagi masalah-masalah yang zaman nabi memang belum pernah terjadi atau
masalah-masalah ijtihadi, seperti perbankan, transpalansi organ tubuh, bayi
tabung, cloning dan berbagai macam persoalan kontemporer lainnya yang tentu
semakin banyak dan beragam cara dan hasil ijtihad para ulama.
Al Syatibi membagi pola pandang terhadap
nash untuk mengistimbatkan hukum menjadi empat kelompok besar yaitu, pola pikir
zhahiriyah (tektual), bathiniyat, maknawiyah (kontektual) dan gabungan antara
tektual dan kontektual.[7]
1.
Pola Pikir Zhahiriyat
Kelahiran madzhab
Zhahiriyat dipimpin oleh Dawud bin Al Kholaf Al-Asbhani al zhahiri lahir di
Kufah tahun 202 H. Wafat di Baghdad th. 270 H.[8]
Menurut pola pikir
kaum tektual maksud syara' hanya dapat diketahui dari lafat teks sebagaimana
apa adanya yang tersurat. Kaum ini berpegang lahirnya nash, maka dalam
menentukan hukum tidak perlu memerlukan bantuan dari luar
6
nash, sebagai konsekwensinya mereka menolak
maslakhah mursalah, istisan maupun qiyas dalam menentukan hukum. Meskipun
begitu kaum zhahiriyat menerima ta'wil sebagaimana ulama mutakallimin, hanya
saja penerapannya agak berbeda.
Kaum zhahiriyat menerima ta'wil manakala
ada nash yang lain yang mengeluarkan dari makna lahirnya. Itupun harus dhahir
pula baik nash dari Al Qur'an maupun al Hadits. Ringkasnya zhahirnya suatu nash
hanya dapat dita'wil dengan nash lain
yang berjenis lafadz zhahir pula. Jadi jika diurut lebih jauh, penerapan ta'wil
di kalangan mereka tetap tidak menggeser posisinya sebagai kaum zhahiriyat.
Meskipun mereka berdiri secara kokoh dalam
tektualitasnya, namun mereka
tidak berpandangan
sempit dan kaku dalam istimbat hukum. Setiap lafal diberlakukan secara 'am
kecuali nash dhahir lain yang mengeluarkan dari arti yang umum. Sebagai contoh
lafat al khomr dalan surat al Maidah ayat 90, diartikan " Kullu ma
takhammaro (apa saja yang seperti khomr)" dengan demikian kaum zhahiriyat
juga mengharamkan pil koplo, ekstasi, wiski dan lain-lain yang memabukkan.
2.
Pola Pikir Batiniyat
Pola pikir
bathiniyat adalah bentuk kegiatan berfikir yang dalam istimbat hukum dari nash
yang tidak berpegang pada lafal sebagaimana yang tersurat.[9]
Jadi pola pikir bathiniyat lebih liberal dan tidak menggunakan kaidah umum
seabagaimana yang terdapat dalam kajian ilmu ushul fiqh.
Golongan ini didukung oleh sekte syi'ah
batiniyat. Mereka mempercayai imamnya kebal salah dan kebal dosa, apa yang
dikatakan imam adalah sebuah kebenaran.. Golongan ini berpendapat bahwa setiap
yang lahir pasti ada batinnya dalam setiap
yang turun dalam arti wahyu ada ta'wilnya. Karena corak pemikiran kaum
bathiniyat yang begitu liberal tanpa menggunakan kaidah apapun sebagaimana para
muafassirin, ta'wilnya merusak Al Qur'an, maka Al Dhahabi menghujat sebagai
kaum majusi. Memperhatikan cara penafsiran dan pengambilan hukum dalam al
Qur'an serta kritik tajam dari para
ulama, nampak jelas bahwa kaum bathiniyat memang bukan orang Islam tetapi
7
orang-orang yang akan merusak Islam.
3.
Pola Pikir Kontektual
Sebenarnya
pengertian pola pikir kontektual dalam memahami maksud syara' mempunyai
kandungan yang amat luas. Mujtahid dapat melakukan pendekatan apa saja dalam
memahami syara' asalkan misinya tetap yaitu kemaslahatan umum. Mujtahid
mengaitkannya dengan latar belakang sosial dimana atau
kapan wahyu turun,
mengaitkannya dengan latar belakang kondisi sosial politik, adat istiadat di
mana ia tinggal mengaitkan dengan masalah-masalah global dan kontemporer.[10]
Menurut Al-Syatibi kaum penganut kontektual adalah kelompok yang amat gemar
melakukan qias atau analogi. Kelompok ini lebih memprioritaskan makna lafal
daripada lafal itu sendiri.
Sebagai contoh ketika mereka memahami surat
Al Maidah ayat 38 tentang potong tangan yang secara lahiriyah pencuri harus
dipotong tangannya sebagai hukuman kejahatannya, akan tetapi bukan lahiriyah
itu yang mereka maksud, melainkan supaya mereka berhenti mencuri. Tindakan
prefentif untuk mencegah munculnya pencurian, bukan hanya menghukum potong
tangan bagi pencuri melainkan dapat ditempuh dengan memenjarakan atau mencipkan
kondisi sosial yang dapat mencegah timbulnya pencurian. Cara yang demikian
menurut kelompok ini lebih manusiawi dan maslahat. Ada kemungkinan pencuri tersebut jera dan
menyadari kekeliruannya sehingga tidak mengulangi perbuatannya lagi.
4.
Pola pikir Gabungan antara
Tetual dengan Kontektual
Menurut Al Syatibi,
golongan yang berpola pikir tektual dan kontektual ini adalah golongan yang
benar-benar matang di dalam memahami syara'.
Prosedur pemikiran
kelompok ini adalah :
a.
Mempertimbangkan maksud dalam
amr dan nahib terhadap bunyi nash. Contoh perintah sholat. Maka tidak boleh
tidak perintah itu harus dilaksanakan. Dilarang untuk makan sembelihan yang
tidak disembelih dengan menyebut nama Alloh. Maka setiap sembelihan harus
disebut nama Alloh dan apabila tidak, maka hukumnya haram untuk dimakan.
b.
Mencari illat kalau mungkin
ada, baik dalam kalam amar maupun nahi
8
tersebut dengan mempertanyakan mengapa,
jika ternyata illat itu dapat
ditemukan, maka
mereka melakukan perintah atau tidak melakukan suatu perbuatan atau tidak
melakukan suatu perbuatan karena illat tersebut. Contohnya, ayat tentang puasa
tujuannya supaya bertaqwa, maka illat puasa adalah supaya bertaqwa.
Ketidakbolehan sholat karena mabuk. Jadi mabuk menjadi illat dari tidak
bolehnya sholat.
c. Mempertimbangkan makna asliyat dan makna tabi'iyat yaitu makna asal
dan makna yang mendampinginya. Contoh dalam kasus pernikahan tujuan utamanya
adalah mendapatkan keturunan, sedangkan tujuan yang mengikutinya adalah untuk
mencari ketenangan hidup, tolong menolong, bersenang-senang dengan lain jenis
dengan cara yang halal, menjaga diri dari dosa zina, mendapatkan kasih sayang.
Keseluruhan maksud syara' ini sebagian dapat diketahui dengan nash tetapi
sebagian dapat diketahui melalui dengan dalil-dalil lain seperti qiyas,
pengalaman empiris dan penyimpulan secara induktif.
D. FIQH DILIHAT DARI ASPEK AKSIOLOGI
Pembahasan ini mengarahkan kepada bentuk
aplikasi dari ontology fiqh dan aspek aksiologi yang dalam hal ini penulis
fokuskan kepada produk fiqh yang berkembang di Indonesia . Bentuk formulasi
ketetapan hukum di Indonesia
apakah perorangan atau bentuk organisasi. Ini dapat kita lihat pada organisasi
sosial keagamaan seperti bahsul masail di kalangan NU, keputusan majlis tarjih
Muhammadiyah, bahsul masail yang juga dilakukan oleh persis dalam hal ini
diwakili oleh A. Hasan.
Istimbat Al-Ahkam di kalangan NU bukan
mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya yaitu Al Qur'an dan Al
Hadits akan tetapi penggalian hukumnya dengan mentabliqhkan nash-nash yang
dikemukakan oleh fuqoha dalam hal ini Syafi'iyah.[11]
Selain itu meskipun
dalam anggaran dasar NU menyatakan sebagai pengikut madzhab Ahlu Sunnah
walljamaah dalam prakteknya cara berfikir tektual masih dominan. Hal ini
diungkapkan oleh KH Sahal yang menyimpulkan bahwa
9
metodologi ushul fiqh dan al qowaid fiqiyah
dalam bahtsul masail, digunakan sebagai penguat atau keputuasan yang diambil
apabila diperlukan tanzir dan untuk mengembangkan wawasan fiqh.[12]
Muhammadfiyah dalam majlis tarjihnya boleh
jadi tidak jauh berbeda dengan Nahdlatul Ulama, sesuai dengan istilahnya tarjih
adalah memabandingkan pendapat antara yang satu dengan yang lain untuk memilih
pendapat mana yang lebih kuat. Hal ini Prof. Amir Syarifudin mengemukakan
" Para Ulama yang bergabung dalam organisasi muhammadiyah meskipun pada
mulanya mengikuti faham syafi'I seacara baik, tetapi dalam perkembangan
selanjutnya berusaha untuk mengkaji kembali permasalahan fiqh dan membahasnya
berdasarkan seluruh faham yang ada. Mereka menilai dalil-dalil yang digunakan
dalam menghasilkan faham yang berbeda. Kemudian mengambil satu faham yang
menurut mereka dalilnya lebih kuat.[13]
Beberapa sumber menyebutkan bahwa kompilasi
hkum dengan kekurangan dan kelebihannya dipandang merupakan sebuah konsensus
ulama Indonesia .
Harus diakui bahwa jangkauan materi kompilasi hukum Indonesia masih terbatas dalam
perkawinan, warisan, wakaf, hibah dan shadaqah.
Dalam perkembangan selanjutnya,
persoalan-persoalan masyarakat semakin komplek, maka perlu untuk dikembangakan
fiqh kontemporer yang mencoba untuk memecahkan masalah-masalah yang belum ada
hukum-hukumnya.
10
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah diuraikan
pada bab terdahulu dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.
Ada dua tahapan
yang harus dilakukan oleh umat Islam untuk menjadikan syari'at menjadi
pengendali kehidupan, yaitu menggali dan memahami serta mengambil hukum dari Al
Qur'an dan AlHadits serta mencari titik temu antara idialis syari'ah dengan
realitas sosial.
2.
Syariat adalah semua
peraturan-peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada manusia yang merupakan wahyu dari Allah untuk
mengatur perilaku manusia, yang merupakan aspek ontology dari syari'at.
3.
Aspek epistimologi dari
syari'at adalah bagaimana atau ilmu apa yang digunakan untuk mengetahui
pesan-pesan atau hukum-hukum yang terperinci untuk digunakan sebagai pedoman
manusia untuk berperilaku dalam kehidupan secara pribadi, kelompok, bernegara
dan semua perilaku yang berhubungan dengan sesama manusia, manusia dengan sang
pencipta dan manusia dengan alam.
4.
Aspek aksiologi dari ilmu
syari'at adalah produk produk hukum yang dihasilkan oleh para fuqaha untuk
dilaksanakan oleh umat Islam, sehingga hukum-hukum Allah itu dapat diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari.
11
DAFTAR
PUSTAKA
Al Syatibi, Al Muwafat Fi Ushul Al; Syari'at, Ma'rifat Dar
Al Ma'rifat, Bairut
Khotimah Khusnul, Penerapan Syari'ah Islam Bercermin pada
System Aplikasi Syari'at Islam Zaman Nabi, Pealajar Pustaka, Yogyakarta ,
2007
Mahfudz Sahal, Nuansa Fiqh Sosial, LKIA, Yogyakarta ,
1994
Mukhlas, Hasyim, Konvergensi Ijtihad Kearah Pemahaman dan
Perbaikan Realita, Jurnal Oase Online, 2000
Noor, Ahmad, dkk, Epistimologi Syara' Mencari Format Baru
Fiqh Indonesia , Wali Songo
Press, Yogyakarta , 2000
Penulis, Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Isalam Indonesia , Jambatan, Jakarta
Rofiq, Ahmad, Fiqh Kontektual dari Normatif ke Pemaknaan
Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta , 2004
Syarifudin, Amir, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam,
Angkasa Raya, Padang ,
1993
12
[1] Ahmad Noor, dkk, Epistimologi syara' Mencari Format Baru Fiqh Indonesia , Yogyakarta ,
Wali Songo Press, 2000, hal 3
[2]Mukhlas Hasyim, Konvergensi Ijtihad Kearah Pemahaman dan Perbaikan
Realita, artikel diakses dari jurnal oase Online (27 April 1997) Indonesia
aindopubs com.
[3]Ahmad Rafiq, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta , Pustaka Pelajar, 2004, hal. 5
[4] Masfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Syari'ah
[5]Khotimah, Khusnul, Penerapan Syari'ah Islam Bercermin pada Sistem
Aplikasi Syari'ah jaman Nabi, Yogyakarta ,
Pustaka Pelajar, 2007, Hal. 18
[6]Al Syatibi, Al Muwafat FI Ushul al Syari'at, Bairut, Dar Al
Ma'rifat, hal. 64
[7] Al Syatibi, ibid, hal. 391
[8] Tim Penulis IAIN Syarif Hidaayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia , Jakarta ,
Jambatan, hal. 205
[9] Khotimah, khusnul, 0pcit, hal 51
[10] Ibid, hal 54
[11] Mahfud, Zahal, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta ,
LKIS, 1994, Hal. 26
[12] Ibid, hal. 39
[13] Syarifudin Amir, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang , Angkasa Raya,
1993, hal. 127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar